
Pada hakikatnya, masalah
kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala
transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan
seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin
dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang
dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah
laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment
Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia
syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi
transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Tanda-tanda transseksual yang bisa
dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan
salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan
jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya
selama dua tahun dan bukan hanya ketika dating stress; adanya penampilan fisik
interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan
mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary
of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan
gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta
tingkah laku negativisme.
Transeksual dapat diakibatkan
faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di
antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak
laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan
homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami
atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada
kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan),
menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis
kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki
kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan
lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah
sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Adapun hukum operasi kelamin dalam
syariat Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia
kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi
penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir
memiliki kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang
dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar
(penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan
salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir
memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang
lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar)
bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan
rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat
Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan
keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II
tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI
ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis
kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan
ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam
surat Al-Hujurat ayat 13 yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan
prinsip equality (keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan hukum
yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini
tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya; (2)
firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir
seperti Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi
(II/117), Zubat al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi
(III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena
termasuk “mengubah ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas yaitu
seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan
sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus
(seorang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan
sebaliknya); (3) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang tato, yang
meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur)
giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.”
(HR. Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki-laki yang
menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh
karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang
penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Allah melainkan melalui pendekatan
spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang
bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan
penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum
syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk
mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk
memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga
menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu
penyakit yang harus diobati.
Para ulama seperti Hasanain
Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan
(1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan
alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga
dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta
kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau
melakukan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam
berdasarkan hadits Nabi saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual”
(HR.al-Bukhari) Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan
kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena
kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan)
yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk
suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits
Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak
mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit,
yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Apabila seseorang mempunyai alat
kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas
dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia
boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat
kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada
bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri
khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi
penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas
identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis
(dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu
dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan
kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki
maupun dari segi kehidupan sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat
(bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, menurut Makhluf dan
Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang
penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi
kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat
kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian
dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya
untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang
memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan
fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga
penisnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas.
Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di
bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang
karena operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya
berarti melakukan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah SWT; dan
ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah
Allah (QS.Ar-Rum:30).
Dibolehkannya operasi perbaikan
atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin
orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan
keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam
tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok
Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Peranan dokter dan para medis dalam
operasi penggantian kelamin ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi
alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa karena termasuk
bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya adalah sesuai
syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia mendapat pahala dan terpuji karena
termasuk anjuran bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi hukum
penggantian kelamin adalah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin
dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah
ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah
dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang
melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian
warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang
dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin
ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan
sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut
menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang
berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan
sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau
wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya
perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan
demi kejelasan status hukumnya. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal
Hidayah. []
No comments:
Post a Comment