BAB
I
PENDAHULUAN
Tuhan telah menciptakan manusia
dalam dua bentuk yaitu pria dan wanita, dengan Adam dan Hawa sebagai cikal
bakalnya. Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada
sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam
statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut.
Berbeda dengan jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, dimana
jumlah lelaki 43% dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempuan 57%.
Mereka itu adalah makhluk Tuhan yang disebut Waria. Mereka sepertinya belum mendapatkan
perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan berjuang
mempertahankan hidup menurut maunya. Mereka seperti belum tersentuh hukum, tapi
mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau diperlukan untuk suatu kepertingan
atau tujuan sesaat.
Belakangan ini semakin banyak
fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengadu nasib khususnya di
dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah
dengan ikut memakai kerudung. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita
sepertinya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian
tersebut di berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu
tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru
masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi
dan kelainan seksual.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan
jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme
ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena
merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan
ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya
bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai
kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III,
penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome.
Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual,
a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Khusus untuk tanda-tanda
transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman
dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti
kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus
menerus untuk sekurangnya selama dua tahun; adanya penampilan fisik interseks
atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia
yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam
reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan
pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.
Dalam hukum Indonesia sendiri belum
ada ketentuan yang jelas mengatur mengenai kedudukan masalah transseksual
maupun kedudukan para waria. Padahal dengan semakin meningkatnya globalisasi di
dunia, masalah-masalah seperti ini semakin sering muncul. Para waria
dengan mudah dapat ditemui di berbagai sudut kota. Bahkan di Thailand, secara
rutin dalam setahun diadakan kontes kecantikan untuk para waria yang belakangan
rupanya juga telah ada di Indonesia.
Berangkat dari pemaparan di atas,
maka dalam tulisan ini Saya berniat untuk membahas beberapa masalah, yaitu :
- Bagaimanakah kedudukan hukum dari operasi pergantian kelamin ?
- Apa konsekuensi hukum dari pergantian kelamin itu ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Dari
Operasi Pergantian Kelamin
Secara umum, transeksual dapat
diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan
anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas
dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar,
suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan.
Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan),
menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis
kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki
kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan
lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah
sesuatu yang menyimpang dan bahkan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Dalam dunia kedokteran modern
sendiri, dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:
- Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal;
- Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti alat kelamin yang tidak berlubang atau tidak sempurna;
- Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin.
Pertama: Masalah seseorang yang ingin mengubah jenis kelaminnya
sedangkan ia lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya dan bagi
perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium, maka pada umumnya tidak
dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan diharamkan oleh syariat Islam untuk
melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang
Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun
diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan
ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil diantaranya yaitu Hadits Nabi saw.:
“Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai
laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari
kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Tuhan
melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and
psychological therapy).
Kedua: Jika operasi kelamin yang dilakukan bersifat perbaikan
atau penyempurnaan dan bukan penggantian jenis kelamin, maka pada umumnya itu
masih bisa dilakukan atau dibolehkan. Jika kelamin seseorang tidak memiliki
lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan/atau sperma, maka operasi
untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga
menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit
yang harus diobati.
Para ulama seperti Hasanain Muhammad
Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131)
memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin
tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga dapat tersisih
dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari
jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks
dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi
saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari). Guna
menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh
dilakukan. Dalam kaidah fiqih dinyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya
harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan
bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini
sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena
sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya,
kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Ketiga: Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, maka untuk
memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat
kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan
salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki alat kelamin pria
dan wanita, sedangkan pada bagian dalam tubuhnya ia memiliki rahim dan ovarium
yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia
boleh menghilangkan alat kelamin prianya untuk memfungsikan alat kelamin
wanitanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini
dianjurkan syariat karena keberadaan zakar yang berbeda dengan keadaan bagian
dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum
agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan
perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya. Dibolehkannya
operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi
bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda,
juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan
Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989
di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Khusus mengenai kasus yang terakhir
ini, Pengadilan Negeri Purwokerto telah mengeluarkan putusan yang berkaitan
dengan penggantian jenis kelamin atas Aan, seorang bocah berusia 6 tahun. Pada
awalnya, bocah ini hanya memiliki alat kelamin wanita. Namun selang 10 hari
setelah kelahirannya, dukun bayi yang membantu saat bocah ini dilahirkan
melihat adanya munculnya alat kelamin laki-laki pada bayi tersebut. Dalam
perkembangannya, Aan memiliki dua alat kelamin sehingga dilakukan pemeriksaan
secara medis di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, dan diketahui bahwa Aan tidak
memiliki rahim. Maka tidak adanya rahim dalam tubuh Aan menjadi salah satu
pertimbangan PN Purwokerto untuk lebih menetapkan Aan sebagai pria dan bukan
sebagai wanita.
Tidak adanya aturan hukum yang jelas
yang mengatur mengenai kedudukan pergantian kelamin ini menyebabkan banyak
kesalahan persepsi yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai boleh atau
tidaknya melakukan operasi kelamin. Banyak yang berpendapat bahwa melakukan
operasi pergantian kelamin itu sah-sah saja karena itu merupakan hak asasi tiap
orang. Namun, jika perubahan kelamin itu hanya untuk menuruti hasrat atau
kemauan dari subjek itu sendiri, maka berarti dia telah menyalahi dan berusaha
untuk mengubah apa yang telah dikodratkan Tuhan kepadanya.
Namun kita bisa berangkat dari
keputusan PN Purwokerto yang mengabulkan permintaan untuk melakukan operasi
kelamin atas bocah yang bernama Aan tadi, maka kita bisa berkesimpulan jika
operasi pengubahan kelamin itu dilakukan demi kebaikan demi tercapainya status
hukum yang jelas atau agar tidak membahayakan kesehatan, maka operasi
penggantian kelamin dapat dilakukan.
B. Konsekuensi Hukum Dari
Pergantian Kelamin
Tidak hanya menimbulkan kontroversi
di kalangan masyarakat, operasi penggantian jenis kelamin juga dapat
menimbulkan masalah hukum bagi subjek yang melakukan operasi itu sendiri.
Masalah hukum yang paling umum timbul atau dipermasalahkan adalah mengenai
hukum waris. Dengan adanya pergantian kelamin yang dilakukan oleh seseorang,
maka secara langsung akan mempengaruhi kedudukannya dalam pembagian harta
warisan, terutama jika orang yang bersangkutan adalah seorang muslim. Dengan
bergantinya jenis kelamin seseorang dari pria menjadi wanita ataupun sebaliknya
maka kedudukan dan haknya sebagai penerima waris juga akan berganti. Dalam hal
ini, kejelasan mengenai jenis kelamin seseorang sangat diperlukan. Jika terjadi
kasus seperti yang telah disebutkan di atas (seseorang yang memiliki alat
kelamin ganda), maka akan sulit ditentukan apakah ia memperoleh bagian warisan
seperti layaknya bagian pria atau wanita. Maka agar tidak terjadi kekeliruan,
operasi penggantian kelamin sebaiknya dilakukan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
dikemukakan di atas, maka kesimpulan yang dapat Saya sampaikan adalah :
- Operasi penggantian jenis kelamin dapat dilakukan dengan catatan untuk memberikan penegasan status kepada subjek yang bersangkutan dalam hal terjadi jenis kelamin ganda. Namun jika hanya untuk menuruti kemauan dan hasrat seseorang, maka sebaiknya tidak dilakukan karena pada dasarnya dengan melakukan hal itu berarti yang bersangkutan telah menyalahi kodrat yang dianugerahkan Tuhan YME kepadanya.
- Masalah hukum yang pada umumnya timbul karena pergantian jenis kelamin ini adalah mengenai masalah waris, Karena biasanya tidak dapat ditentukan apakah subjek yang bersangkutan berhak untuk memperoleh bagian warisan seperti pria atau wanita. Karena itulah dalam hal ini, operasi penggantian jenis kelamin dianjurkan untuk dilakukan demi kepastian hukum subjek yang bersangkutan.
B. Saran
Saran yang dapat Saya berikan adalah
sebagai berikut :
- Sebaiknya di Indonesia diadakan peraturan khusus yang mengatur perihal pergantian kelamin ini karena hal ini mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia secara langsung.
- Jika hal di atas dapat terwujud, maka di dalamnya perlu dijelaskan status dan konsekuensi hukum yang diperoleh oleh mereka yang melakukan operasi pergantian kelamin.
No comments:
Post a Comment