KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI
A.
keterampilan sosial anak usia dini
tujuan dari pendidikan anak usia
dini adalah untuk membantu dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada
diri anak. Dalam pendidikan anak usia dini terdapat aspek-aspek yang harus
dikembangkan dan ditanamkan dalam diri anak, diantaranya aspek kognitif,
bahasa, nilai agama dan moral serta sosial.
Sosial mencakup sikap tenggang rasa,
peduli, saling menghargai, saling menghormati, bekerjasama, empati dan lain
sebagainya.
·
Mengapa keterampilan sosial anak perlu dikembangkan?
karena pada
dasarnya setiap anak akan memerlukan bantuan orang lain dan akan hidup menjadi
manusia sosial, namun dalam kenyataannya masih banyak anak yang tidak dapat
bersosialisasi dengan orang lain. Oleh karena itu anak harus memiliki
keterampilan sosial pada dirinya.
·
Keterampilan sosial anak usia dini menurut para ahli.
Ø Chaplin
dalam Suhartini ( 2004 : 18).
Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang
ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan
ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada
di sekitarnya
Ø Menurut
Septiana (2009)
kurangnya seseorang memiliki keterampilan
sosial menyebabkan kesulitan perilaku di sekolah, kenakalan, tidak perhatian,
penolakan rekan, kesulitan emosional, bullying, kesulitan dalam berteman,
agresivitas, masalah dalam hubungan interpersonal, miskin konsep diri,
kegagalan akademik, kesulitan konsentrasi, isolasi dari teman sebaya dan
depresi.
Ø Kurniati
(2005 : 35)
bahwa keterampilan sosial adalah kebutuhan
primer yang perlu dimiliki anak-anak bagi kemandirian pada jenjang kehidupan
selanjutnya, hal ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan
keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Ø Libet dan
Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995)
mengemukakan
keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku
yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika
perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan.
Mengingat keterampilan sosial sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya keterampilan sosial ditanamkan
pada anak sedini mungkin.
Keterampilan sosial pada anak dapat dikembangkan
melalui berbagai metode di antaranya, metode bercerita, metode tanya jawab,
metode karyawisata, dan metode bermain peran. Salah satu metode yang lebih
efektif untuk mengembangkan empati anak yaitu metode bermain peran.
·
Cara meningkatkan terampilan sosial pada
anak usia dini
pengajaran
keterampilan sosial kepada anak-anak seperti kerjasama, komunikasi positif,
yang membantu dan sopan, sangat penting untuk perkembangan anak yang tepat.
Mengajarkan ketrampilan sosialisasi kepada anak akan efektif bila dilakukan dengan permainan dan kegiatan. Orang tua harus jeli memilih jenis permainan dimana anak akan bisa belajar berperilaku,berkomunikasi dan menampilkan diri dalam situasi sosial.
Mengajarkan ketrampilan sosialisasi kepada anak akan efektif bila dilakukan dengan permainan dan kegiatan. Orang tua harus jeli memilih jenis permainan dimana anak akan bisa belajar berperilaku,berkomunikasi dan menampilkan diri dalam situasi sosial.
Beberapa
bentuk permainan yang bisa dicoba:
1. Melatih Kerjasama
1. Melatih Kerjasama
Mintalah
anak-anak berdiri membentuk lingkaran.
Selanjutnya, menggambar sebuah lingkaran di tengah dengan kapur.
Berikan instruksi yang segera setelah Anda peluit, anak-anak harus menjalankan dan mengakomodasi diri dalam lingkaran ditarik oleh Anda.
Setelah anak-anak melakukannya, membuat lingkaran lain yang lebih kecil di antara lingkaran sebelumnya yang dipakai. Sekarang, anak-anak harus menyesuaikan diri di daerah yang lebih kecil. Saat melakukan sehingga anak-anak harus terus satu sama lain atau membuat saran bagaimana agar sesuai itu. Jadi, dengan melakukan permainan tim tersebut untuk anak-anak, komunikasi dan kerjasama di antara mereka bisa ditingkatkan jauh.
Selanjutnya, menggambar sebuah lingkaran di tengah dengan kapur.
Berikan instruksi yang segera setelah Anda peluit, anak-anak harus menjalankan dan mengakomodasi diri dalam lingkaran ditarik oleh Anda.
Setelah anak-anak melakukannya, membuat lingkaran lain yang lebih kecil di antara lingkaran sebelumnya yang dipakai. Sekarang, anak-anak harus menyesuaikan diri di daerah yang lebih kecil. Saat melakukan sehingga anak-anak harus terus satu sama lain atau membuat saran bagaimana agar sesuai itu. Jadi, dengan melakukan permainan tim tersebut untuk anak-anak, komunikasi dan kerjasama di antara mereka bisa ditingkatkan jauh.
2. Belajar Mendengar dan Memahami Kenyataan
Sering kali,anak-anak kurang memperhatikan apa yang orang lain katakan di kelas. Menanamkan keterampilan mendengarkan menjadi sangat penting untuk menjaga sopan santun. Sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak mengajarkan keterampilan sosial adalah meminta anak-anak duduk dalam lingkaran. Selanjutnya, minta salah satu dari mereka untuk memberitahu orang lain hobi favoritnya. Setelah ini, anak duduk di sebelahnya harus memberitahu hobi favoritnya, tapi sebelum itu ia harus mengulang hobi anak sebelumnya. Demikian juga, semua anak memberitahu hobi mereka dan ulangi yang anak-anak sebelumnya. Setiap kali seorang anak lupa, guru atau anak-anak lain yang dapat membantu dia. Kegiatan ini sangat tepat dan menyenangkan guna mengajarkan anak-anak bergiliran ketika berbicara serta mendengarkan orang lain.
3. Belajar Menghargai dan Berkomunikasi Positif
Buat anak-anak berdiri membentuk lingkaran. Selanjutnya, minta mereka untuk satu per satu menceritakan satu hal yang mereka sukai dari anak lain di kelas. Sebagai contoh tentang tulisan tangan,warna rambutatau bagaimana teman mereka ketika sedang bernyanyi, dll Setelah itu, anak harus berpindah tempat ke teman yang dia ceritakan. Sekarang, giliran anak ini untuk mengatakan sesuatu yang baik tentang anak lagi. Ini adalah kegiatan menyenangkan untuk membangun Team yang baik. Lanjutkan permainan sampai masing-masing anak mendapat kesempatan untuk mengubah tempat.
4. Role Play
Role play adalah permainan yang sangat bagus untuk mengajarkan ketrampilan sosial kepada anak autis.
Misalnya, untuk mengajar anak-anak sopan santun, Anda dapat meminta dua anak membuat sebuah adegan, dimana satu memberikan yang buku dan yang lain mengatakan "terima kasih". Atau, adegan dimana seorang anak tidak sengaja menginjak kaki seseorang yang lain dan kemudian " minta maaf" kepadanya. Anda bisa membimbing anak bagaimana untuk menyapa, berbicara dan menjadi teman dengan seseorang. Demikian juga, bagaimana membantu orang lain, bagaimana menjadi seorang teman yang baik, bagaimana menjadi hormat, semua bisa diajarkan secara efektif dengan perencanaan memainkan peran kreatif.
5. Berperan sebagai Model
Untuk semua orang tua yang bertanya-tanya,, "bagaimana untuk mengajarkan keterampilan sosial kepada anak-anak?" Jawabannya terletak pada pemodelan perilaku yang benar kepada anak-anak dalam keadaan apapun. Anak-anak sering meniru perilaku dan pola komunikasi diikuti oleh orangtua dan guru mereka. Jadi, untuk meningkatkan keterampilan sosial, orang dewasa harus memastikan bahwa mereka sendiri adalah sopan, sopan, koperasi, positif dan membantu orang, jika mereka mengharapkan anak-anak menjadi begitu.
Selain permainan di atas, untuk mengajar keterampilan
sosial kepada anak-anak, olahraga dan kegiatan kelompok seperti membaca bersama-sama
dapat cukup efektif juga. Belajar keterampilan sosial adalah kegiatan yang
berkelanjutan sampai dewasa maka kunci utama adalah terletak pada praktek dan
keterampilan yang dipelajari setiap menit satu hari!
B. Karakteristik serta faktor-faktor yang
mempengaruhi keterampilan sosial anak usia dini
·
Faktor-faktor keterampilan
sosial Menurut para ahli
Ø Darwish,
dkk (2001, h.13)
menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi ketrampilan sosial anak adalah bermain
Ø Macquarie
(2005)
bahwa
ketrampilan sosial pada anak dapat dikembangkan lewat bermain bersama aengan
lingkungan (orangtua dan teman sebaya), seperti melakukan permainan dengan
teman sebaya
Ø Menurut
Yanti (2005) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah :
a. Kondisi
anak : temperamen anak, regulasi emosi, kemampuan sosial kognitif
b. Interaksi
anak datau orang lain.
Ø menurut
Bloom (1990) adalah :
a. Faktor
personal yang meliputi perubahan fisik badan, perkembangan struktur kognitif,
perkembangan struktur afektif, perubahan perilaku kebiasaan
b. Faktor
interpersonal yang meliputi perubahan relasi dalam keluarga, perubahan relasi
dalam teman sebaya.
c. Relasi
sosial yang meliputi suku, jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, agama,
prasangka.
d. Perubahan
interbudaya antara lain perubahan permainan (permainan tradisional menjadi
permainan modern).
Ø Menurut
Goddard (2005)
faktor
yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah bermain bersama teman sebaya.
Bermain menyebabkan anak berinteraksi dengan orang lain, belajar menerima dan
berbagi, serta mengajarkan untuk mengeskpresikan diri sesuai dengan tuntutan
sosial.
Bermain membuat anak
belajar secara langsung dan dalam suasana yang menyenangkan mengenai interaksi
dengan orang lain sehingga membuat mereka mendapatkan pengalaman positif yang
berkaitan dengan interaksi sosial. Lebih lanjut, pengalaman yang diperoleh
lewat permainan akan membuat anak lebih tahu mengenai cara berinteraksi, cara
memelihara pertemanan dalam jangka waktu panjang, cara mengembangkan strategi
bergaul yang bijaksana, menerima orang lain, mengenal nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat, dan cara memecahkan masalah. Pendapat Dalrymple (2004) semakin
menegaskan bahwa cara yang efektif untuk mengembangkan ketrampilan sosial anak
adalah melalui bermain.
C.
Sejarah ips pada anak usia dini
Sesungguhnya sejak dicanangkanya
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di seluruh wilayah Indonesia mendapat respons prokontra dalam
masyarakat. Sebagian masyarakat menyambutnya sebagai sebuah peluang dan
kesempatan usaha; sebagian lainnya berbeda karena program PAUD tidak
dipersiapkan secara matang, tidak berjalan seiring dengan pengelolaan taman
kanak-kanak, sehingga menimbulkan benturan di lapangan baik antara guru,
penyelenggara, dan organisasi yang menaungi lembaga tersebut.
Ada baiknya, sebelum membaca berbagai wacana tentang prokontra PAUD, mari
kita telisik tetang sejarah PAUD di Indoensia. Lintasan sejarah PAUD setidaknya
mengalami dinamika dan prosesnya selama tujuh periode yang meliputi penjajahan
Belanda, periode Taman Siswa, penjajahan Jepang dan awal merdeka, awal
kemerdekaan dan gerakan Yayasan Bersekolah pada Iibu, taman kanak-kanak Al’
Quran oleh BKPRMI, periode lahirnya PAUD tahun 2003 hingga sekarang.
Periode Penjajahan Belanda
pendidikan anak usia dini atau prasekolah sebenarnya bukan barang baru dan
telah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam
masa penjajahan Belanda misalnya terdapat Froebelschool, yaitu sekolah
yang menggunakan system Froebel bagi anak Belanda, China, dan anak-anak kaum
ningrat yang bekerja dengan pemerintah Belanda. Berselang beberapa lama,
kemudian muncul sekolah bagi anak usia dini yang menggunakan system Montessori
(Montessorischool). Selanjutnya, pada tahun 1922 lahir taman Indria yang
didirikan oleh taman siswa di Yogyakarta, yang merupakan produk awal bangsa
Indoensia. Dalam tulisan Ki Hajar Dewantara (1940) sekolah untuk anak berusia
dibawah tujuh tahun selain ketiga nama itu dikenal pula nama Kindergarten,
Kleuterschool, Bewaarschool, dan Voorklas.
Sekolah Froebel (froebelschool) berasal dari Friedrich Froebel
(1782-1852), seorang tokoh penggagas dan sekaligus bapak Kindergarten dunia
yang berasal dari Jerman. Konsep Froebel merupakan terobosan baru dalam
pendidikan anak usia dini setelah Pestalozzi dan awalnya terkenal di Eropa
kemudia merambah ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Froebel sendiri
sebenarnya tidak menyukai istilah “school”, tetapi gerten (taman
dalam bahasa Jerman). Ada perbedaan dalam penggunaan istilah itu, “taman” lebih
mengarah ke sebuah tempat yang menyenangkan, menarik, bebas bergerak, tempat
bermain; sedangkan “sekolah” cenderung kepada sebuah tempat pendidikan dengan
setumpuk peraturan ketat yang harus diikuti dan semata-mata berorientasi
penguasaan akademik.
Pada zaman penjajahan Belanda, selain lebih bernuansa kepada kepentingan
colonial, Froebelschool bagi kaum ibu hanya bertujuan agar anak-anak
mereka pandai membaca, menulis, berhitung, dan bahasa Belanda; padahal tujuan
pendidikan Froebel tidak mengajarkan anak baca, tulis, hitung. Sampai sekarang
ini tak heran masih banyak iibu-ibu yang hanya mengharapkan anakanaknya bisa
berhitung ketika masuk taman kanak-kanak.
Sekolah Montessori berasal dari nama tokoh maria Montessori (1870-1952),
mulai dikenal di Indonesia sekitar tahhun 1940-an, beliau bahkan sempat ingin
datang pada tahun 1941 ke Indonesia, tetapi batal karena masa peperangan dan
dianggap membahayakan pemerintahan Belanda. Gagasan Montessori tentang hidup
bebas dan merdeka mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pendidikan
Indonesia waktu itu karena memperjuangkan roh kemerdekaaan dan hal itu sejalan
dengan cita-cita bangsa Indonesia yang menginginkan hidup bebas dan
merdeka.
Periode taman siswa
Pada 3 Juli tahun 1922 berdiri perguruan
nasional Taman Siswa oleh putra Indoensia Ki Hajar Dewantara. Pada
awalnya perguruan nasional itu membuka “Taman Lare” atau “Taman Anak” atau
dikenal pula “Sekolah Froebel Nasional” atau “Kindertuin”, untuk anak dibawah
usia 7 tahun. Dalam perkembangannya “Taman Anak” kemudian berubah menjadi
“Taman Indria”. Penggunaan nama Taman Indria, berdasarkan konsep Froebel dan
Montessori yang menganggap jiwa anak dibawah usia 7 tahun berada dalam periode
perkembangan panca indranya. Ki Hajar Dewantara mengakui bahwa Taman Indria
merupakan gabungan dari dua system pendidikan, yaitu Froebel dan Montessori,
walaupun ada perbedaan terutaa disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia
sebagai orang timur.
Taman
siswa boleh dibilang memakai kedua-duanya sebagai terkandung dalam sifat
pendidikan Montessori dan Froebel itu, akan tetapi pelajaran panca indra dan
permainan anak itu tidak terpisah, yaitu dianggap satu, sebab ddalam Taman
Indria hiduplah kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala keadaan
hidupnya anak-anak itu sudah dihiasi oleh Sang Maha Among segala alat yang
bersifat mendidik si Anak (Ki Hajar Dewantara, 1977;242).
Periode Penjajahan Jepang dan Awal
Kemerdekaan
Masuknya Jepang sebagai penjajah bangsa Indonesia pada tahun 1942 ternyata
membawa perubahan terhadap perkembangan pendidikan anak usia dini, yang tadinya
bercorak Belanda berubah ke corak Jepang. Jepang berussaha memasukkan idealisme
ke dalam jiwa anak-anak Indonesia. Sekolah pra sekolah seperti Froebelschool
tetap ada akan tetapi berganti nama taman kanak-kanak (kindergarten).
Materi belajar anak termasuk permainan, nyanyian, cerita diganti dengan
nyanyian dan cerita-cerita bangsa Jepang.
Memasuki gerbang kemerdekaan tahun 1945, kesadaran bangsa Indonesia mulai
tumbuh. Para tokoh pendidikan ketika itu seperti Ki hajar Dewantara dan Ali
Sastroamidjaja (mantan mentri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan waktu itu)
menyadari bahwa pendidikan nasional harus bercorak nasional sesuai kebudayaan
bangsa Indonesia; bukan Belanda, Amerika, atau Jepang. Indonesia memiliki
keluhuran budaya yang tinggi, kaya akan aneka permainan, nyanyian,
cerita-cerita rakyat. Akan tetapi karena baru merdeka, disusul agresi Belanda
dan pemberontakan dalam negeri, nasib pendidikan nasional belum berubah; bahkan
pada tahun 1950, mengalami krisis pendidikan. Sebagian penduduka buta huruf.
Indonesia tidak punya guru, kekurangan fasilitas belajar, dan perhatian
pemerintah masih difokuskan kepada agresi dan pemberontakan dalam negeri,
sehingga sebagian besar anak Indonesia dari Sabrang sampai Merauke tidak
sekolah.
D. lingkungan
sekitar sbg media dan sumber belajar aud
1. Pengertian
Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
Sebagai makhluk hidup, anak selain berinteraksi dengan orang atau manusia
lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan benda-benda
mati. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan,
sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah. Manusia merupakan
salah satu anggota di dalam lingkungan hidup yang berperan penting dalam
kelangsungan jalinan hubungan yang terdapat dalam sistem tersebut.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) lingkungan diartikan sebgai bulatn
yang melingkungi (melingkari). Pengertian lainnya yaitu sekalian yang terlingkung
di suatu daerah. Dalam kamus Bahasa Inggris peristilahan lingkungan ini cukup
beragam diantaranya ada istilah circle, area, surroundings, sphere, domain,
range, dan environment, yang artinya kurang lebih berkaitan dengan
keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitar atau sekeliling.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa lingkungan itu merupakan kesatuan
ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia
dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan itu terdiri dari
unsur-unsur biotik (makhluk hidup), abiotik (benda mati) dan budaya manusia.
2. Nilai-Nilai
Lingkungan sebagai Sumber Belajar
Lingkungan yang ada di sekitar anak merupakan salah satu sumber belajar
yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang
berkualitas bagi anak usia dini.
- Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat
dipelajari anak
Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas,
sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan
pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan
pengetahuan anak karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas.
Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab anak dapat mengalami secara
langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi
dengan lingkungan tersebut.
Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih
bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan
situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam
belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak usia dini.
- Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar
akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan
yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam
kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah
mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
- Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak
Kegiatan
belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan
sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak
usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan
masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa
mendatang.
4. Pemanfaatan
lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar anak (learning activities) yang
lebih meningkat.
Penggunaan cara atau metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan
kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan untuk anak usia dini.
3. Jenis-Jenis
Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
Pada dasarnya semua jenis lingkungan yang ada di sekitar anak dapat
dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan untuk anak usia dini
sepanjang relevan dengan komptensi dasar dan hasil belajar yang bisa berupa
lingkungan alam atau lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan budaya
atau buatan.
a.
Lingkungan alam
Lingkungan alam atau lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang sifatnya
alamiah, seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan),
tumbuh-tumbuhan dan hewan (flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan
sebagainya.
Lingkungan
alam sifatnya relatif menetap, oleh karena itu jenis lingkungan ini akan lebih
mudah dikenal dan dipelajari oleh anak. Sesuai dengan kemampuannya, anak dapat
mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dan dialami dalam kehidupan
sehari-hari, termasuk juga proses terjadinya.
Dengan
mempelajari lingkungan alam ini diharapkan anak akan lebih memahami
gejala-gejala alam yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, lebih dari itu
diharapkan juga dapat menumbuhkan kesadaran sejak awal untuk mencintai alam,
dan mungkin juga anak bisa turut berpartisipasi untuk menjaga dan memelihara
lingkungan alam.
b. Lingkungan sosial
Selain lingkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas jenis lingkungan
lain yang kaya akan informasi bagi anak usia dini yaitu lingkungan sosial.
Hal-hal yang
bisa dipelajari oleh anak usia dini dalam kaitannya dengan pemanfaatan
lingkungan sosial sebagai sumber belajar ini misalnya:
1.
mengenal adat istiadat dan kebiasaan penduduk setempat
di mana anak tinggal.
2.
mengenal jenis-jenis mata pencaharian penduduk di
sektiar tempat tinggal dan sekolah.
3.
Mengenal organisasi-organisasi sosial yang ada di
masyarakat sekitar tempat tinggal dan sekolah.
4.
Mengenal kehidupan beragama yang dianut oleh penduduk
sekitar tempat tinggal dan sekolah.
5.
Mengenal kebudayaan termasuk kesenian yang ada di
sekitar tempat tinggal dan sekolah.
6.
Mengenal struktur pemerntahan setempat seperti RT, RW,
desa atau kelurahan dan kecamatan.
Pemanfaatan
lingkungan sosial sebagai sumber belajar dalam kegiatan pendidikan untuk anak
usia dini sebaiknya dimulai dari lingkungan yang terkecil atau paling dekat
dengan anak.
c.
Lingkungan budaya
Di samping lingkungan budaya dan lingkungan alam yang sifatnya alami, ada
juga yang disebut lingkungan budaya atau buatan yakni lingkungan yang sengaja
diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Anak dapat mempelajari lingkungan buatan dari berbagai
aspek seperti prosesnya, pemanfaatannya, fungsinya, pemeliharaannya, daya
dukungnya, serta aspek lain yang berkenan dengan pembangunan dan kepentingan
manusia dan masyarakat pada umumnya.
Agar
penggunaan lingkungan ini efektif perlu disesuaikan dengan rencana kegiatan
atau program yang ada. Dengan begitu, maka lingkungan ini dapat memperkaya dan
memperjelas bahan ajar yang dipelajari dan bisa dijadikan sebagai laboratorium
belajar anak.
E. pengukuran perilakusosial anak
a).
Kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain
Pada awal
masa bayi (
kira-kira usia tiga
bulan), anak sudah
mulai menunjukkan keinginannya untuk berhubungan dengan orang lain,
dengan “senyum sosial” yang ditunjukkannya bila ada orang yang mendekatinya.
Pada saat itu sifat hubungannya dengan orang
lain masih sangat
terbatas, karena kemampuan
reaksi dan komunikasinya yang juga masih amat terbatas. Kemudian pada
akhir masa bayi (kira-kira usia dua tahun) anak sudah mulai dapat berbicara dan
memiliki beberapa puluh kosa kata,
keinginan untuk menjalin
hubungan antar manusia
sudah lebih nyata, hal ini
ditampakkan melalui sikap dan perilakunya terhadap orang-orang yang ditemuinya,
terutama dengan anak-anak sebaya.
Masuknya
anak ke TK
memberikan kesempatan bergaul
dengan anak lain yang
sebaya semakin besar.
Hal ini memberikan
peluang pada anak
untuk lebih melancarkan dan
meningkaan kemampuan berkomunikasinya. Pada
usia TK anak diharapkan telah
dapat menyatakan perasaan-perasaannya melalui
kata-kata, bila marah pada
temannya ia akan
mengatakan “kamu nakal
atau kamu jahat”,
kalau takut sesuatu ia akan mengatakan “saya takut itu” atau kalau ia
senang ia juga akan mengatakan “saya senang”. Selain dari
itu, anak juga
sudah mulai mampu
membaca situasi yang dihadapi. Bila
merebut mainan temannya,
kemudian temannya cemberut
dan guru memelototinya, ia tahu
bahwa perilakunya itu tidak disukai oleh teman dan gurunya.
Anak juga mulai dapat memilih teman yang dianggap
sesuai dengan keinginannya, mulai
mempunyai teman yang
dianggap sesuai dengan
keinginannya, mulai
mempunyai teman dekat,
dan menghindari teman-teman
yang tidak disukainya.
Pada
usia ini anak
juga sudah mulai
dapat bermain dalam
kelompok kecil yang menuntut kebersamaan dan kerjasama,
mulai belajar berbagai hal dengan orang lain, belajar menunggu giliran dan
lain-lain. Pengalaman berhubungan (bersosialisasi) dengan orang lain ini
memberikan pelajaran pada anak
bahwa ada perilaku-perilaku yang
disukai oleh teman-teman atau gurunya yang menyebabkan ia
diterima di lingkungan mereka, dan ia tahu pula bahwa ada perilaku-perilaku
yang tidak disukai temannya. Dengan pengetahuannya itu anak
mulai mengubah perilaku
yang negatif dan
mengembangkan
perilakuperilaku yang positif
agar hubungan dengan
orang lain dapat
tetap berlangsung dengan baik.
Anak semakin mampu
mengendalikan
perasaan-perasaannya dan
mengikuti aturan-aturan yang
ditentukan oleh lingkungannya, untuk
dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Bila pengalaman
awal seorang anak
dalam bersosialisasi lebih
banyak memberi kesenangan dan kepuasan, maka dapat diperkirakan proses
sosialisasinya berkembang ke arah
yang positif, tetapi
sebaliknya bila tidak,
hambatan dan kesulitan dalam bersosialisasi
akan banyak ditemui anak.
Menurut Dini P. Daeng S (1996: 114) ada empat faktor
yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosialisasi, yaitu :
1. Adanya kesempatan
untuk bergaul dengan
orang-orang di sekitarnya
dari berbagai usia dan latar belakang. Semakin banyak dan bervariasi
pengalaman dalam bergaul dengan orang-orang di
lingkungannya, maka akan
semakin banyak pula
hal-hal yang dapat dipelajarinya, untuk menjadi bekal
dalam meningkaanketerampilan sosialisasi tersebut.
2. Adanya
minat dan motivasi untuk bergaul
Semakin
banyak pengalaman yang
menyenangkan yang diperoleh
melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat dan motivasi untuk
bergaul juga akan semakin
berkembang. Keadaan ini
memberi peluang yang
lebih besar untuk meningkaan ketrampilan
sosialisasinya. Dengan minat dan
motivasi bergaul yang besar anak
akan terpacu untuk selalu memperluas wawasan pergaulan dan pengalaman dalam
bersosialisasi, sehingga makin
banyak pula hal-hal
yang dipelajarinya yang pada
akhirnya akan meningkaan
kemampuan bersosialisasinya.
Sebaliknya bila seorang
anak tidak memiliki
minat dan motivasi untuk bergaul,
akan cenderung menyendiri dan lebih suka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak
banyak melibaan dan menuntut hubungan dengan orang lain. Dengan demikian makin
sedikit pengalaman bergaulnya dan makin sedikit
pula yang dapat
dipelajarinya tentang pergaulan
yang dapat menjadi bekal untuk meningkaan kemampuan
sosialisasinya.
2. Adanya bimbingan
dan pengajaran dari
orang lain, yang
biasanya menjadi “model” bagi
anak. Walaupun kemampuan sosialisasi ini dapat pulaberkembang melalui cara
“cobasalah” yang dialami
oleh anak, melalui
pengalaman bergaul atau
dengan “meniru” perilaku orang
lain dalam bergaul,
tetapi akan lebih
efektif bila ada bimbingan dan pengajaran yang secara
sengaja diberikan oleh orang yang dapat dijadikan “model” bergaul yang baik
bagi anak.
3. Adanya
kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak.
Dalam berkomunikasi
dengan orang lain,
anak tidak hanya
dituntut untuk
berkomunikasi dengan kata-kata
yang dapat difahami, tetapi juga
dapat membicarakan topik yang
dapat dimengerti dan menarik bagi orang
lain yang menjadi lawan
bicaranya. Kemampuan berkomunikasi
ini menjadi inti
dari sosialisasi.
Menurut
Elizabeth B. Hurlock,
(1978 : 228)
untuk menjadi orang
yang mampu bersosialisasi memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan sangat
berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan. Kegagalan dalam satu proses
akan menurunkan kadar sosialisasinya. Ketiga prosessosialisasi tersebut adalah
:
1. Belajar
berperilaku yang dapat diterima secara sosial.
Setiap kelompok
sosial mempunyai standar
bagi para anggotanya
tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat besosialisasi anak
tidak hanya harus mengetahui
perilaku yang dapat
diterima, tetapi mereka
juga harus menyesuaikan
perilakunya dengan patokan yang dapatditerima.
2. Memainkan
peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial mempuyai pola kebiasaan
yang telah ditentukan
dengan seksama oleh para
anggotannya dan dituntut untuk
dipatuhi. Sebagai contoh,
ada peran yang
telah disetujui bersama bagi
orang tua dan anak serta
ada pula peran
yang telah disetujui bersama bagi guru dan murid. Anak
dituntut untuk mampu memainkan peranperan sosial yang diterimanya.
3. Perkembangan sikap
sosial. Untuk bersosialisasi dengan
baik anak-anak harus menyenangi orang
dan kegiatan sosial.
Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan
berhasil dalam penyesuaian
sosial dan diterima
sebagai anggota kelompok sosial
tempat mereka bergaul.
b)
Kemampuan melakukan kegiatan bermain dan menggunakan waktu luang
Dunia anak adalah dunia bermain, khususnya pada anak
prasekolah bermain merupakan kebutuhan dasar mereka. Dengan demikian wajarlah
bila sebagian besar waktu anak diisi dengan kegiatan bermain.
Elizabeth
B. Hurlock (1978:
234) memberikan batasan tentang bermain sebagai “kegiatan
bermain adalah kegiatan
yang dilakukan tanpa mempertimbangkan hasil
akhir, semata-mata untuk
menimbulkan kesenangan dan kegembiraan saja. Biasanya anak
melakukakannya secara suka rela, tanpa paksaan dan tanpa ada aturan
main tertentu, kecuali
bila ditentukan oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam
permainan tersebut”. Anak usia prasekolah
pada umumnya senang
melakukan permainan yang mengandung aktivitas
gerak, seperrti berlari,
meloncat, memanjat dan
bersepeda, tetapi ada pula
anak yang tidak
begitu menyukai kegiatan
bermain aktif, anak demikian
lebih memilih bentuk
kegiatan bermain pasif
yang kurang banyak merangsang aspek
fisik motoriknya tetapi
lebih merangsang aspek
perkembangan lainnya, terutama perkembangan kognitifnya.
Kedua jenis kegiatan bermain ini baik bermain
aktifmaupun bermain pasif sama-sama
bermanfaat bagi perkembangan
anak, namun untuk
memberi manfaat yang optimal
dan bersifat menyeluruh
bagi perkembangan anak,
kedua jenis kegiatan bermain ini
perlu dilakukan oleh anak secara seimbang.
c)
Kemampuananakmengatasisituasisosialyangdihadapi
Kemampuan
anak dalam mengatasi
situasi sosial yang
dihadapi erat kaitannya dengan kemampuan
anak dalam menjalin hubugan antar manusia. Hal ini disebabkan karena situasi
sosial yang dihadapi anak, mau tidak mau melibaan orang lain sehingga pada
dasarnya tidak dapat lepas dari
hubungannya dengan orang lain. Salah
satu yang berkaitan
dengan kemampuan mengatasi
situasi sosial ini,
anak tidak selalu harus
berhubungan secara langsung
dengan orang lain.
Masalah yang dihadapinya tidak
berhubungan langsung dengan
orang lain, tetapi berhubungan dengan situasi
sosial, yaitu situasi
yang diciptakan oleh
orang lain. Misalnya, seorang anak TKsedang mengikuti
kegiatan menggambardi kelas, yang sebenarnya tidak disukainya.
Keadaan ini menimbulkan
perasaan dan pengalaman
yang tidak enak pada
dirinya. Bila ia
tidak mau melakukan
kegiatan itu ia
takut dihukum gurunya, tetapi
bila ia mengikuti
terus ia merasa
sangat bosan. Mengatasi
situasi semacam ini diperlukan kemampuan anak untuk mencaripemecahan
masalah yang sebaik-baiknya sesuai dengan
perkembangan yang telah
dicapainya. Pada usia
ini diharapkan anak telah
menyadari tuntutan yang
diharapkan oleh lingkungan.
Ia sudah harus dapat mengikuti aturan main yang ada, mengikuti tokoh
otoritas yang dihadapi dan mencoba untuk mengendalikan perasaan-perasaanya
dengan cara yang lebih positif.
F.
proses pembentukan keterampilan
sosial anak usia dini
B. Proses
Sosialisasi
Proses ini artinya suatu proses dimana seorang
individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan
kelompoknya. Maka kepribadian adalah keseluruhan faktor biologis, psikologis
dan sosilogis yang mendasari perilaku individu.
Proses sosialisasi terjadi melalui dua cara yaitu:
a. Conditioning.
b. Komunikasi atau interaksi.
Conditioning, adalah keadaan yang menyebabkan individu mempelajari pola
kebudayaan yang fundamental seperti cara makan, bahasa, berjalan, cara duduk,
pengembangan tingkah laku dan sebagainya.
C. Proses Inkulturasi
Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
pembudayaan yaitu seorang individu yang mempelajari dan menyesuaikan alam
pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem nora dan
peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaanya. Individu sejak kecil sudah
mengawali proses inkulturasi dalam alam pikiran mereka sebagai warga suatu
masyarakat. Mula-mula dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dari
teman-teman mainnya. Selain itu ia sering belajar dengan meniru berbagai macam
tindakan. Namun, sebelumnya perasaan dan nilai budaya yang meberi motivasi akan
tindakan meniru itu telah diinternalisasikan dalam kepribadiannya. Dengan
berkali-kali meniru, maka tindakannya akan menjadi suatu pola yang mantap dan norma
yang mengatur tindakannya itu untuk dibudidayakan. Berbagai macam norma kadang
juga dipelajari seorang individu secara sebagian demiu sebagian dengan
mendengarkan orang-orang di dalam lingkungan pergaulan pada saat yang
berbeda-beda. Sudah tentu ada juga norma-norma yang diajarkan kepadanya dengan
sengaja, tidak hanya di lingkungan keluarga dan di luar keluarga saja, tetapi
juga secara formal.
E. Perkembangan
Tingkah laku Kelompok
Perkembangan
sosial melalui kelompok terjadi karena partisipasi sosial dalam peranan anak
dalam kelompok sebaya terjadi melalui beberapa tahap :
1.
Tahap permainan soliter : Pada tahap ini anak
bermain sendiri dimana anak memperlakukan teman sebayanya sebagai benda.
2.
Tahap permainan semi soliter/permainan parallel
: Ketika anak berumur 2 tahun, dia bermain sendiri walaupun ada teman sebaya
disekitarnya.
3.
Tahap permainan kooperatif : Pada tahap ini anak
mulai melakukan kegiatan bersama-sama dalam kelompok sebayanya, biasanya
berjumlah kelompok kecil 3-5 orang
4.
Fase permainan khayal : Pada fase ini (ketika
anak berusia 3-5 th) anak menirukan peranan-peranan yang serupa dengan orang
dewasa. Pada anak mulai berkembang konsep tentang dirinya dan orang lain sering
kali bersifat tak konsisten atau selalu berubah-ubah
5.
Fase bermain kelompok : Pada fase sudah
berkembang kepatuhan pada kelompok pimpinan dan merupakan perkembangan dari
fase-fase sebelumnya.
6.
Permainan Tim yang terorganisasi (10-14) orang.
: Kelompok pada fase ini sudah terorganisasi, mempunyai aturan-aturan, upacara
atribut dan sebagainya.
7.
Fase setelah masa pubertas : Pada fase ini
jumlah anggota kelompok sangat kecil dan bersifat homogen dan terbentuk atas
dasar kesamaan minat.
Perkembangan
sosial ini berlangsung terus hingga anak menjadi orang dewasa. Keberhasilan
seseorang dalam melalui tahapan-tahapan ini akan terlihat dari peranan
sosialnya setelah ia dewasa. Orang dewasa akan berperan dalam kelompoknya
sesuai dengan tujuan yang hendak ia capai dalam memasuki suatu kelompok. Pada
umumnya orang dewasa akan mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompok
apabila ada persamaan nilai kelompok dengan yang dianutnya. Timbul
perpecahan-perpecahan dalam kelompok yang biasanya disebabkan oleh
benturan-benturan nilai antara sesama anggota kelompok.
F.
Masalah/ Realita di Lapangan
Proses
sosialisasi pada anak balita.
Pada tahap
persiapan di usia balita adalah tahap dimana seorang anak mempersiapkan diri
untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga
anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Pengasuhan anak yang dilakukan
sepenuhnya oleh keluarga membuat apa yang diajarkan dan diharapkan oleh
keluarga kepada anak dapat dilihat dan diterima oleh anak karena orang tua
dapat memantau dan mengontrol perkembangan anak. Misalnya, orang tua
mengajarkan pada anak untuk mengucapkan kata “ibu” dan anak mampu
mengucapkannya “buk”. Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak.
Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata “ibu” tersebut dengan
kenyataan yang dialaminya.
- Desa : proses sosialisasi anak balita pada
masyarakat desa dilakukan secara penuh oleh agen sosialisai utama yaitu
keluarga. Pada umumnya, perempuan di desa yang sudah menikah tidak bekerja
dan hanya mengurus keperluan rumah tangga sehingga ketika dalam sebuah
keluarga memiliki anak maka urusan pengasuhan anak dilakukan sepenuhnya
oleh ibu.
- Kota : pada masyarakat kota urusan pengasuhan
anak tidak sepenuhnya dilakukan oleh ibu. Kehidupan kota yang menuntut
biaya hidup yang lebih mahal daripada di desa serta kedudukan wanita yang
sama oleh lelaki karena telah memiliki pendidikan membuat banyak wanita
kota yang bekerja untuk menopang perekonomian keluarganya. Sehingga banyak
ibu-ibu rumah tangga yang memiliki anak balita menyerahkan pengasuhan
anaknya kepada baby sister, tetangga, maupun keluarga terdekatnya dikarenakan
tuntutan
Proses
pengenalan kebiasaan-kebiasaan pada tahap persiapan bagi anak harus terjalin
kerjasama antara orang tua dengan pengasuh anak. Agar harapan-harapan orang tua
terhadap anak dapat terbentuk. Misalnya, orang tua mengajarkan untuk makan tepat
waktu kepada anaknya dan hal tersebut disampaikan kepada pengasuhnya kemudian
pengasuh dapat melanjutkan dan menerapkan kebiasaan tersebut
kerja yang tidak memungkinkan ibu bisa selalu berada dirumah
dan mengasuh anaknya.
Proses
sosialisasi pada remaja.
Masa remaja
ditinjau dari rentang kehidupan manusia merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke dewasa. Sifat-sifat remaja sebagian sudah tidak menunjukkan
sifat-sifat masa kanak-kanaknya, tetapi juga belum menunjukkan sifat-sifat
sebagian orang dewasa. Hurlock (1991: 206), menyatakan awal masa remaja
berlangsung kira-kira dari 13 tahun hingga 16 atau 17 tahun, sampai 18 tahun,
yaitu usia yang matang secara hukum.
Peniruan
yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran.
Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga
memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk
membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai
berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang
berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan
dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
- Desa : proses sosialisasi anak pada usia remaja
di desa, pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebaya bertambah luas
dan pengaruhnya cukup kuat. Sehingga anak banyak mendapatkan pengalaman
baru maupun pengaruh di lingkungan sosialnya bersama dengan teman-teman
sebayanya, lingkungan pendidikan, maupun media massa. Namun, teman sebaya
sangat berperan besar terhadap proses sosialisasi remaja di desa. Anak
mendapat nilai-nilai baru dari teman-teman sebayanya sehingga anak belajar
juga untuk menyesuaikan atau memfilter hal-hal yang baik baginya. Karena
pada usia ini anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi maka orang tua perlu
mengontrol perkembangan dan lingkungan pergaulan anak agar anak tetap
berada pada koridor yang benar sesuai dengan ajaran/nilai/norma yang telah
diajarkan oleh orang tua.
- Kota : proses sosialisasi anak pada usia remaja
di kota, pengaruh teman sebaya, lembaga pendidikan maupun media massa sama
kuatnya terhadap proses sosialisasi pada anak remaja di kota. Remaja di
kota juga banyak menghabiskan waktunya bersama dengan teman sebayanya
dengan jalan-jalan di mal maupun nongkrong-nongkrong bersama. Lembaga pendidikan
juga berpengaruh terhadap perilaku, menambah pengetahuan dan ketrampilan
anak. Anak remaja kota yang pada umumnya sudah mengenal teknologi dan
media massa sangat berpengaruh terhadap proses sosialisasinya. Efek
negatif yang ditimbulkan dengan adanya televisi, internet, handphone,
majalah, dll membuat anak banyak menghabiskan waktu di rumah dan tidak
bersosialisasi dengan tetangganya sehingga anak memiliki kepribadian
cenderung tertutup bahkan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar tempat
tinggalnya
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI
(IPS AUD)
DISUSUN OLEH:
DOSEN: Dra. YETTYS, M.Pd.
PRODI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN PELAJARAN 2012-2013
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI
(IPS AUD)
DISUSUN OLEH:
DOSEN: Dra. YETTY RAHELLY, M.Pd.
PRODI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN PELAJARAN 2012-2013
No comments:
Post a Comment