Wednesday, December 13, 2017

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI A. keterampilan sosial anak usia dini tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah untuk membantu dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak. Dalam pendidikan anak usia dini terdapat aspek-aspek yang harus dikembangkan dan ditanamkan dalam diri anak, diantaranya aspek kognitif, bahasa, nilai agama dan moral serta sosial. Sosial mencakup sikap tenggang rasa, peduli, saling menghargai, saling menghormati, bekerjasama, empati dan lain sebagainya. • Mengapa keterampilan sosial anak perlu dikembangkan? karena pada dasarnya setiap anak akan memerlukan bantuan orang lain dan akan hidup menjadi manusia sosial, namun dalam kenyataannya masih banyak anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan orang lain. Oleh karena itu anak harus memiliki keterampilan sosial pada dirinya. • Keterampilan sosial anak usia dini menurut para ahli.  Chaplin dalam Suhartini ( 2004 : 18). Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada di sekitarnya  Menurut Septiana (2009) kurangnya seseorang memiliki keterampilan sosial menyebabkan kesulitan perilaku di sekolah, kenakalan, tidak perhatian, penolakan rekan, kesulitan emosional, bullying, kesulitan dalam berteman, agresivitas, masalah dalam hubungan interpersonal, miskin konsep diri, kegagalan akademik, kesulitan konsentrasi, isolasi dari teman sebaya dan depresi.  Kurniati (2005 : 35) bahwa keterampilan sosial adalah kebutuhan primer yang perlu dimiliki anak-anak bagi kemandirian pada jenjang kehidupan selanjutnya, hal ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya.  Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Mengingat keterampilan sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya keterampilan sosial ditanamkan pada anak sedini mungkin. Keterampilan sosial pada anak dapat dikembangkan melalui berbagai metode di antaranya, metode bercerita, metode tanya jawab, metode karyawisata, dan metode bermain peran. Salah satu metode yang lebih efektif untuk mengembangkan empati anak yaitu metode bermain peran. • Cara meningkatkan terampilan sosial pada anak usia dini pengajaran keterampilan sosial kepada anak-anak seperti kerjasama, komunikasi positif, yang membantu dan sopan, sangat penting untuk perkembangan anak yang tepat. Mengajarkan ketrampilan sosialisasi kepada anak akan efektif bila dilakukan dengan permainan dan kegiatan. Orang tua harus jeli memilih jenis permainan dimana anak akan bisa belajar berperilaku,berkomunikasi dan menampilkan diri dalam situasi sosial. Beberapa bentuk permainan yang bisa dicoba: 1. Melatih Kerjasama Mintalah anak-anak berdiri membentuk lingkaran. Selanjutnya, menggambar sebuah lingkaran di tengah dengan kapur. Berikan instruksi yang segera setelah Anda peluit, anak-anak harus menjalankan dan mengakomodasi diri dalam lingkaran ditarik oleh Anda. Setelah anak-anak melakukannya, membuat lingkaran lain yang lebih kecil di antara lingkaran sebelumnya yang dipakai. Sekarang, anak-anak harus menyesuaikan diri di daerah yang lebih kecil. Saat melakukan sehingga anak-anak harus terus satu sama lain atau membuat saran bagaimana agar sesuai itu. Jadi, dengan melakukan permainan tim tersebut untuk anak-anak, komunikasi dan kerjasama di antara mereka bisa ditingkatkan jauh. 2. Belajar Mendengar dan Memahami Kenyataan Sering kali,anak-anak kurang memperhatikan apa yang orang lain katakan di kelas. Menanamkan keterampilan mendengarkan menjadi sangat penting untuk menjaga sopan santun. Sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak mengajarkan keterampilan sosial adalah meminta anak-anak duduk dalam lingkaran. Selanjutnya, minta salah satu dari mereka untuk memberitahu orang lain hobi favoritnya. Setelah ini, anak duduk di sebelahnya harus memberitahu hobi favoritnya, tapi sebelum itu ia harus mengulang hobi anak sebelumnya. Demikian juga, semua anak memberitahu hobi mereka dan ulangi yang anak-anak sebelumnya. Setiap kali seorang anak lupa, guru atau anak-anak lain yang dapat membantu dia. Kegiatan ini sangat tepat dan menyenangkan guna mengajarkan anak-anak bergiliran ketika berbicara serta mendengarkan orang lain. 3. Belajar Menghargai dan Berkomunikasi Positif Buat anak-anak berdiri membentuk lingkaran. Selanjutnya, minta mereka untuk satu per satu menceritakan satu hal yang mereka sukai dari anak lain di kelas. Sebagai contoh tentang tulisan tangan,warna rambutatau bagaimana teman mereka ketika sedang bernyanyi, dll Setelah itu, anak harus berpindah tempat ke teman yang dia ceritakan. Sekarang, giliran anak ini untuk mengatakan sesuatu yang baik tentang anak lagi. Ini adalah kegiatan menyenangkan untuk membangun Team yang baik. Lanjutkan permainan sampai masing-masing anak mendapat kesempatan untuk mengubah tempat. 4. Role Play Role play adalah permainan yang sangat bagus untuk mengajarkan ketrampilan sosial kepada anak autis. Misalnya, untuk mengajar anak-anak sopan santun, Anda dapat meminta dua anak membuat sebuah adegan, dimana satu memberikan yang buku dan yang lain mengatakan "terima kasih". Atau, adegan dimana seorang anak tidak sengaja menginjak kaki seseorang yang lain dan kemudian " minta maaf" kepadanya. Anda bisa membimbing anak bagaimana untuk menyapa, berbicara dan menjadi teman dengan seseorang. Demikian juga, bagaimana membantu orang lain, bagaimana menjadi seorang teman yang baik, bagaimana menjadi hormat, semua bisa diajarkan secara efektif dengan perencanaan memainkan peran kreatif. 5. Berperan sebagai Model Untuk semua orang tua yang bertanya-tanya,, "bagaimana untuk mengajarkan keterampilan sosial kepada anak-anak?" Jawabannya terletak pada pemodelan perilaku yang benar kepada anak-anak dalam keadaan apapun. Anak-anak sering meniru perilaku dan pola komunikasi diikuti oleh orangtua dan guru mereka. Jadi, untuk meningkatkan keterampilan sosial, orang dewasa harus memastikan bahwa mereka sendiri adalah sopan, sopan, koperasi, positif dan membantu orang, jika mereka mengharapkan anak-anak menjadi begitu. Selain permainan di atas, untuk mengajar keterampilan sosial kepada anak-anak, olahraga dan kegiatan kelompok seperti membaca bersama-sama dapat cukup efektif juga. Belajar keterampilan sosial adalah kegiatan yang berkelanjutan sampai dewasa maka kunci utama adalah terletak pada praktek dan keterampilan yang dipelajari setiap menit satu hari! B. Karakteristik serta faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial anak usia dini • Faktor-faktor keterampilan sosial Menurut para ahli  Darwish, dkk (2001, h.13) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial anak adalah bermain  Macquarie (2005) bahwa ketrampilan sosial pada anak dapat dikembangkan lewat bermain bersama aengan lingkungan (orangtua dan teman sebaya), seperti melakukan permainan dengan teman sebaya  Menurut Yanti (2005) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah : a. Kondisi anak : temperamen anak, regulasi emosi, kemampuan sosial kognitif b. Interaksi anak datau orang lain.  menurut Bloom (1990) adalah : a. Faktor personal yang meliputi perubahan fisik badan, perkembangan struktur kognitif, perkembangan struktur afektif, perubahan perilaku kebiasaan b. Faktor interpersonal yang meliputi perubahan relasi dalam keluarga, perubahan relasi dalam teman sebaya. c. Relasi sosial yang meliputi suku, jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, agama, prasangka. d. Perubahan interbudaya antara lain perubahan permainan (permainan tradisional menjadi permainan modern).  Menurut Goddard (2005) faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah bermain bersama teman sebaya. Bermain menyebabkan anak berinteraksi dengan orang lain, belajar menerima dan berbagi, serta mengajarkan untuk mengeskpresikan diri sesuai dengan tuntutan sosial. Bermain membuat anak belajar secara langsung dan dalam suasana yang menyenangkan mengenai interaksi dengan orang lain sehingga membuat mereka mendapatkan pengalaman positif yang berkaitan dengan interaksi sosial. Lebih lanjut, pengalaman yang diperoleh lewat permainan akan membuat anak lebih tahu mengenai cara berinteraksi, cara memelihara pertemanan dalam jangka waktu panjang, cara mengembangkan strategi bergaul yang bijaksana, menerima orang lain, mengenal nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, dan cara memecahkan masalah. Pendapat Dalrymple (2004) semakin menegaskan bahwa cara yang efektif untuk mengembangkan ketrampilan sosial anak adalah melalui bermain. C. Sejarah ips pada anak usia dini Sesungguhnya sejak dicanangkanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di seluruh wilayah Indonesia mendapat respons prokontra dalam masyarakat. Sebagian masyarakat menyambutnya sebagai sebuah peluang dan kesempatan usaha; sebagian lainnya berbeda karena program PAUD tidak dipersiapkan secara matang, tidak berjalan seiring dengan pengelolaan taman kanak-kanak, sehingga menimbulkan benturan di lapangan baik antara guru, penyelenggara, dan organisasi yang menaungi lembaga tersebut. Ada baiknya, sebelum membaca berbagai wacana tentang prokontra PAUD, mari kita telisik tetang sejarah PAUD di Indoensia. Lintasan sejarah PAUD setidaknya mengalami dinamika dan prosesnya selama tujuh periode yang meliputi penjajahan Belanda, periode Taman Siswa, penjajahan Jepang dan awal merdeka, awal kemerdekaan dan gerakan Yayasan Bersekolah pada Iibu, taman kanak-kanak Al’ Quran oleh BKPRMI, periode lahirnya PAUD tahun 2003 hingga sekarang. Periode Penjajahan Belanda pendidikan anak usia dini atau prasekolah sebenarnya bukan barang baru dan telah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam masa penjajahan Belanda misalnya terdapat Froebelschool, yaitu sekolah yang menggunakan system Froebel bagi anak Belanda, China, dan anak-anak kaum ningrat yang bekerja dengan pemerintah Belanda. Berselang beberapa lama, kemudian muncul sekolah bagi anak usia dini yang menggunakan system Montessori (Montessorischool). Selanjutnya, pada tahun 1922 lahir taman Indria yang didirikan oleh taman siswa di Yogyakarta, yang merupakan produk awal bangsa Indoensia. Dalam tulisan Ki Hajar Dewantara (1940) sekolah untuk anak berusia dibawah tujuh tahun selain ketiga nama itu dikenal pula nama Kindergarten, Kleuterschool, Bewaarschool, dan Voorklas. Sekolah Froebel (froebelschool) berasal dari Friedrich Froebel (1782-1852), seorang tokoh penggagas dan sekaligus bapak Kindergarten dunia yang berasal dari Jerman. Konsep Froebel merupakan terobosan baru dalam pendidikan anak usia dini setelah Pestalozzi dan awalnya terkenal di Eropa kemudia merambah ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Froebel sendiri sebenarnya tidak menyukai istilah “school”, tetapi gerten (taman dalam bahasa Jerman). Ada perbedaan dalam penggunaan istilah itu, “taman” lebih mengarah ke sebuah tempat yang menyenangkan, menarik, bebas bergerak, tempat bermain; sedangkan “sekolah” cenderung kepada sebuah tempat pendidikan dengan setumpuk peraturan ketat yang harus diikuti dan semata-mata berorientasi penguasaan akademik. Pada zaman penjajahan Belanda, selain lebih bernuansa kepada kepentingan colonial, Froebelschool bagi kaum ibu hanya bertujuan agar anak-anak mereka pandai membaca, menulis, berhitung, dan bahasa Belanda; padahal tujuan pendidikan Froebel tidak mengajarkan anak baca, tulis, hitung. Sampai sekarang ini tak heran masih banyak iibu-ibu yang hanya mengharapkan anakanaknya bisa berhitung ketika masuk taman kanak-kanak. Sekolah Montessori berasal dari nama tokoh maria Montessori (1870-1952), mulai dikenal di Indonesia sekitar tahhun 1940-an, beliau bahkan sempat ingin datang pada tahun 1941 ke Indonesia, tetapi batal karena masa peperangan dan dianggap membahayakan pemerintahan Belanda. Gagasan Montessori tentang hidup bebas dan merdeka mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pendidikan Indonesia waktu itu karena memperjuangkan roh kemerdekaaan dan hal itu sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang menginginkan hidup bebas dan merdeka. Periode taman siswa Pada 3 Juli tahun 1922 berdiri perguruan nasional Taman Siswa oleh putra Indoensia Ki Hajar Dewantara. Pada awalnya perguruan nasional itu membuka “Taman Lare” atau “Taman Anak” atau dikenal pula “Sekolah Froebel Nasional” atau “Kindertuin”, untuk anak dibawah usia 7 tahun. Dalam perkembangannya “Taman Anak” kemudian berubah menjadi “Taman Indria”. Penggunaan nama Taman Indria, berdasarkan konsep Froebel dan Montessori yang menganggap jiwa anak dibawah usia 7 tahun berada dalam periode perkembangan panca indranya. Ki Hajar Dewantara mengakui bahwa Taman Indria merupakan gabungan dari dua system pendidikan, yaitu Froebel dan Montessori, walaupun ada perbedaan terutaa disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia sebagai orang timur. Taman siswa boleh dibilang memakai kedua-duanya sebagai terkandung dalam sifat pendidikan Montessori dan Froebel itu, akan tetapi pelajaran panca indra dan permainan anak itu tidak terpisah, yaitu dianggap satu, sebab ddalam Taman Indria hiduplah kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala keadaan hidupnya anak-anak itu sudah dihiasi oleh Sang Maha Among segala alat yang bersifat mendidik si Anak (Ki Hajar Dewantara, 1977;242). Periode Penjajahan Jepang dan Awal Kemerdekaan Masuknya Jepang sebagai penjajah bangsa Indonesia pada tahun 1942 ternyata membawa perubahan terhadap perkembangan pendidikan anak usia dini, yang tadinya bercorak Belanda berubah ke corak Jepang. Jepang berussaha memasukkan idealisme ke dalam jiwa anak-anak Indonesia. Sekolah pra sekolah seperti Froebelschool tetap ada akan tetapi berganti nama taman kanak-kanak (kindergarten). Materi belajar anak termasuk permainan, nyanyian, cerita diganti dengan nyanyian dan cerita-cerita bangsa Jepang. Memasuki gerbang kemerdekaan tahun 1945, kesadaran bangsa Indonesia mulai tumbuh. Para tokoh pendidikan ketika itu seperti Ki hajar Dewantara dan Ali Sastroamidjaja (mantan mentri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan waktu itu) menyadari bahwa pendidikan nasional harus bercorak nasional sesuai kebudayaan bangsa Indonesia; bukan Belanda, Amerika, atau Jepang. Indonesia memiliki keluhuran budaya yang tinggi, kaya akan aneka permainan, nyanyian, cerita-cerita rakyat. Akan tetapi karena baru merdeka, disusul agresi Belanda dan pemberontakan dalam negeri, nasib pendidikan nasional belum berubah; bahkan pada tahun 1950, mengalami krisis pendidikan. Sebagian penduduka buta huruf. Indonesia tidak punya guru, kekurangan fasilitas belajar, dan perhatian pemerintah masih difokuskan kepada agresi dan pemberontakan dalam negeri, sehingga sebagian besar anak Indonesia dari Sabrang sampai Merauke tidak sekolah. D. lingkungan sekitar sbg media dan sumber belajar aud 1. Pengertian Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Sebagai makhluk hidup, anak selain berinteraksi dengan orang atau manusia lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan benda-benda mati. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan, sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah. Manusia merupakan salah satu anggota di dalam lingkungan hidup yang berperan penting dalam kelangsungan jalinan hubungan yang terdapat dalam sistem tersebut. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) lingkungan diartikan sebgai bulatn yang melingkungi (melingkari). Pengertian lainnya yaitu sekalian yang terlingkung di suatu daerah. Dalam kamus Bahasa Inggris peristilahan lingkungan ini cukup beragam diantaranya ada istilah circle, area, surroundings, sphere, domain, range, dan environment, yang artinya kurang lebih berkaitan dengan keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitar atau sekeliling. Dalam literatur lain disebutkan bahwa lingkungan itu merupakan kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur biotik (makhluk hidup), abiotik (benda mati) dan budaya manusia. 2. Nilai-Nilai Lingkungan sebagai Sumber Belajar Lingkungan yang ada di sekitar anak merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini. 1. Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari anak Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan anak karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab anak dapat mengalami secara langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi dengan lingkungan tersebut. Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak usia dini. 2. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara. 3. Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang. 4. Pemanfaatan lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar anak (learning activities) yang lebih meningkat. Penggunaan cara atau metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan untuk anak usia dini. 3. Jenis-Jenis Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Pada dasarnya semua jenis lingkungan yang ada di sekitar anak dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sepanjang relevan dengan komptensi dasar dan hasil belajar yang bisa berupa lingkungan alam atau lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan budaya atau buatan. a. Lingkungan alam Lingkungan alam atau lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah, seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan), tumbuh-tumbuhan dan hewan (flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan sebagainya. Lingkungan alam sifatnya relatif menetap, oleh karena itu jenis lingkungan ini akan lebih mudah dikenal dan dipelajari oleh anak. Sesuai dengan kemampuannya, anak dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dan dialami dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga proses terjadinya. Dengan mempelajari lingkungan alam ini diharapkan anak akan lebih memahami gejala-gejala alam yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, lebih dari itu diharapkan juga dapat menumbuhkan kesadaran sejak awal untuk mencintai alam, dan mungkin juga anak bisa turut berpartisipasi untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam. b. Lingkungan sosial Selain lingkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas jenis lingkungan lain yang kaya akan informasi bagi anak usia dini yaitu lingkungan sosial. Hal-hal yang bisa dipelajari oleh anak usia dini dalam kaitannya dengan pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar ini misalnya: 1. mengenal adat istiadat dan kebiasaan penduduk setempat di mana anak tinggal. 2. mengenal jenis-jenis mata pencaharian penduduk di sektiar tempat tinggal dan sekolah. 3. Mengenal organisasi-organisasi sosial yang ada di masyarakat sekitar tempat tinggal dan sekolah. 4. Mengenal kehidupan beragama yang dianut oleh penduduk sekitar tempat tinggal dan sekolah. 5. Mengenal kebudayaan termasuk kesenian yang ada di sekitar tempat tinggal dan sekolah. 6. Mengenal struktur pemerntahan setempat seperti RT, RW, desa atau kelurahan dan kecamatan. Pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar dalam kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sebaiknya dimulai dari lingkungan yang terkecil atau paling dekat dengan anak. c. Lingkungan budaya Di samping lingkungan budaya dan lingkungan alam yang sifatnya alami, ada juga yang disebut lingkungan budaya atau buatan yakni lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Anak dapat mempelajari lingkungan buatan dari berbagai aspek seperti prosesnya, pemanfaatannya, fungsinya, pemeliharaannya, daya dukungnya, serta aspek lain yang berkenan dengan pembangunan dan kepentingan manusia dan masyarakat pada umumnya. Agar penggunaan lingkungan ini efektif perlu disesuaikan dengan rencana kegiatan atau program yang ada. Dengan begitu, maka lingkungan ini dapat memperkaya dan memperjelas bahan ajar yang dipelajari dan bisa dijadikan sebagai laboratorium belajar anak. E. pengukuran perilakusosial anak a). Kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain Pada awal masa bayi ( kira-kira usia tiga bulan), anak sudah mulai menunjukkan keinginannya untuk berhubungan dengan orang lain, dengan “senyum sosial” yang ditunjukkannya bila ada orang yang mendekatinya. Pada saat itu sifat hubungannya dengan orang lain masih sangat terbatas, karena kemampuan reaksi dan komunikasinya yang juga masih amat terbatas. Kemudian pada akhir masa bayi (kira-kira usia dua tahun) anak sudah mulai dapat berbicara dan memiliki beberapa puluh kosa kata, keinginan untuk menjalin hubungan antar manusia sudah lebih nyata, hal ini ditampakkan melalui sikap dan perilakunya terhadap orang-orang yang ditemuinya, terutama dengan anak-anak sebaya. Masuknya anak ke TK memberikan kesempatan bergaul dengan anak lain yang sebaya semakin besar. Hal ini memberikan peluang pada anak untuk lebih melancarkan dan meningkaan kemampuan berkomunikasinya. Pada usia TK anak diharapkan telah dapat menyatakan perasaan-perasaannya melalui kata-kata, bila marah pada temannya ia akan mengatakan “kamu nakal atau kamu jahat”, kalau takut sesuatu ia akan mengatakan “saya takut itu” atau kalau ia senang ia juga akan mengatakan “saya senang”. Selain dari itu, anak juga sudah mulai mampu membaca situasi yang dihadapi. Bila merebut mainan temannya, kemudian temannya cemberut dan guru memelototinya, ia tahu bahwa perilakunya itu tidak disukai oleh teman dan gurunya. Anak juga mulai dapat memilih teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai mempunyai teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai mempunyai teman dekat, dan menghindari teman-teman yang tidak disukainya. Pada usia ini anak juga sudah mulai dapat bermain dalam kelompok kecil yang menuntut kebersamaan dan kerjasama, mulai belajar berbagai hal dengan orang lain, belajar menunggu giliran dan lain-lain. Pengalaman berhubungan (bersosialisasi) dengan orang lain ini memberikan pelajaran pada anak bahwa ada perilaku-perilaku yang disukai oleh teman-teman atau gurunya yang menyebabkan ia diterima di lingkungan mereka, dan ia tahu pula bahwa ada perilaku-perilaku yang tidak disukai temannya. Dengan pengetahuannya itu anak mulai mengubah perilaku yang negatif dan mengembangkan perilakuperilaku yang positif agar hubungan dengan orang lain dapat tetap berlangsung dengan baik. Anak semakin mampu mengendalikan perasaan-perasaannya dan mengikuti aturan-aturan yang ditentukan oleh lingkungannya, untuk dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Bila pengalaman awal seorang anak dalam bersosialisasi lebih banyak memberi kesenangan dan kepuasan, maka dapat diperkirakan proses sosialisasinya berkembang ke arah yang positif, tetapi sebaliknya bila tidak, hambatan dan kesulitan dalam bersosialisasi akan banyak ditemui anak. Menurut Dini P. Daeng S (1996: 114) ada empat faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosialisasi, yaitu : 1. Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di sekitarnya dari berbagai usia dan latar belakang. Semakin banyak dan bervariasi pengalaman dalam bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, maka akan semakin banyak pula hal-hal yang dapat dipelajarinya, untuk menjadi bekal dalam meningkaanketerampilan sosialisasi tersebut. 2. Adanya minat dan motivasi untuk bergaul Semakin banyak pengalaman yang menyenangkan yang diperoleh melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat dan motivasi untuk bergaul juga akan semakin berkembang. Keadaan ini memberi peluang yang lebih besar untuk meningkaan ketrampilan sosialisasinya. Dengan minat dan motivasi bergaul yang besar anak akan terpacu untuk selalu memperluas wawasan pergaulan dan pengalaman dalam bersosialisasi, sehingga makin banyak pula hal-hal yang dipelajarinya yang pada akhirnya akan meningkaan kemampuan bersosialisasinya. Sebaliknya bila seorang anak tidak memiliki minat dan motivasi untuk bergaul, akan cenderung menyendiri dan lebih suka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak banyak melibaan dan menuntut hubungan dengan orang lain. Dengan demikian makin sedikit pengalaman bergaulnya dan makin sedikit pula yang dapat dipelajarinya tentang pergaulan yang dapat menjadi bekal untuk meningkaan kemampuan sosialisasinya. 2. Adanya bimbingan dan pengajaran dari orang lain, yang biasanya menjadi “model” bagi anak. Walaupun kemampuan sosialisasi ini dapat pulaberkembang melalui cara “cobasalah” yang dialami oleh anak, melalui pengalaman bergaul atau dengan “meniru” perilaku orang lain dalam bergaul, tetapi akan lebih efektif bila ada bimbingan dan pengajaran yang secara sengaja diberikan oleh orang yang dapat dijadikan “model” bergaul yang baik bagi anak. 3. Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, anak tidak hanya dituntut untuk berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat difahami, tetapi juga dapat membicarakan topik yang dapat dimengerti dan menarik bagi orang lain yang menjadi lawan bicaranya. Kemampuan berkomunikasi ini menjadi inti dari sosialisasi. Menurut Elizabeth B. Hurlock, (1978 : 228) untuk menjadi orang yang mampu bersosialisasi memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan. Kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasinya. Ketiga prosessosialisasi tersebut adalah : 1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat besosialisasi anak tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilakunya dengan patokan yang dapatditerima. 2. Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial mempuyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotannya dan dituntut untuk dipatuhi. Sebagai contoh, ada peran yang telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta ada pula peran yang telah disetujui bersama bagi guru dan murid. Anak dituntut untuk mampu memainkan peranperan sosial yang diterimanya. 3. Perkembangan sikap sosial. Untuk bersosialisasi dengan baik anak-anak harus menyenangi orang dan kegiatan sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka bergaul. b) Kemampuan melakukan kegiatan bermain dan menggunakan waktu luang Dunia anak adalah dunia bermain, khususnya pada anak prasekolah bermain merupakan kebutuhan dasar mereka. Dengan demikian wajarlah bila sebagian besar waktu anak diisi dengan kegiatan bermain. Elizabeth B. Hurlock (1978: 234) memberikan batasan tentang bermain sebagai “kegiatan bermain adalah kegiatan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan hasil akhir, semata-mata untuk menimbulkan kesenangan dan kegembiraan saja. Biasanya anak melakukakannya secara suka rela, tanpa paksaan dan tanpa ada aturan main tertentu, kecuali bila ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam permainan tersebut”. Anak usia prasekolah pada umumnya senang melakukan permainan yang mengandung aktivitas gerak, seperrti berlari, meloncat, memanjat dan bersepeda, tetapi ada pula anak yang tidak begitu menyukai kegiatan bermain aktif, anak demikian lebih memilih bentuk kegiatan bermain pasif yang kurang banyak merangsang aspek fisik motoriknya tetapi lebih merangsang aspek perkembangan lainnya, terutama perkembangan kognitifnya. Kedua jenis kegiatan bermain ini baik bermain aktifmaupun bermain pasif sama-sama bermanfaat bagi perkembangan anak, namun untuk memberi manfaat yang optimal dan bersifat menyeluruh bagi perkembangan anak, kedua jenis kegiatan bermain ini perlu dilakukan oleh anak secara seimbang. c) Kemampuananakmengatasisituasisosialyangdihadapi Kemampuan anak dalam mengatasi situasi sosial yang dihadapi erat kaitannya dengan kemampuan anak dalam menjalin hubugan antar manusia. Hal ini disebabkan karena situasi sosial yang dihadapi anak, mau tidak mau melibaan orang lain sehingga pada dasarnya tidak dapat lepas dari hubungannya dengan orang lain. Salah satu yang berkaitan dengan kemampuan mengatasi situasi sosial ini, anak tidak selalu harus berhubungan secara langsung dengan orang lain. Masalah yang dihadapinya tidak berhubungan langsung dengan orang lain, tetapi berhubungan dengan situasi sosial, yaitu situasi yang diciptakan oleh orang lain. Misalnya, seorang anak TKsedang mengikuti kegiatan menggambardi kelas, yang sebenarnya tidak disukainya. Keadaan ini menimbulkan perasaan dan pengalaman yang tidak enak pada dirinya. Bila ia tidak mau melakukan kegiatan itu ia takut dihukum gurunya, tetapi bila ia mengikuti terus ia merasa sangat bosan. Mengatasi situasi semacam ini diperlukan kemampuan anak untuk mencaripemecahan masalah yang sebaik-baiknya sesuai dengan perkembangan yang telah dicapainya. Pada usia ini diharapkan anak telah menyadari tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Ia sudah harus dapat mengikuti aturan main yang ada, mengikuti tokoh otoritas yang dihadapi dan mencoba untuk mengendalikan perasaan-perasaanya dengan cara yang lebih positif. F. proses pembentukan keterampilan sosial anak usia dini B. Proses Sosialisasi Proses ini artinya suatu proses dimana seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan kelompoknya. Maka kepribadian adalah keseluruhan faktor biologis, psikologis dan sosilogis yang mendasari perilaku individu. Proses sosialisasi terjadi melalui dua cara yaitu: a. Conditioning. b. Komunikasi atau interaksi. Conditioning, adalah keadaan yang menyebabkan individu mempelajari pola kebudayaan yang fundamental seperti cara makan, bahasa, berjalan, cara duduk, pengembangan tingkah laku dan sebagainya. C. Proses Inkulturasi Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pembudayaan yaitu seorang individu yang mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem nora dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaanya. Individu sejak kecil sudah mengawali proses inkulturasi dalam alam pikiran mereka sebagai warga suatu masyarakat. Mula-mula dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dari teman-teman mainnya. Selain itu ia sering belajar dengan meniru berbagai macam tindakan. Namun, sebelumnya perasaan dan nilai budaya yang meberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasikan dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru, maka tindakannya akan menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya itu untuk dibudidayakan. Berbagai macam norma kadang juga dipelajari seorang individu secara sebagian demiu sebagian dengan mendengarkan orang-orang di dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda. Sudah tentu ada juga norma-norma yang diajarkan kepadanya dengan sengaja, tidak hanya di lingkungan keluarga dan di luar keluarga saja, tetapi juga secara formal. E. Perkembangan Tingkah laku Kelompok Perkembangan sosial melalui kelompok terjadi karena partisipasi sosial dalam peranan anak dalam kelompok sebaya terjadi melalui beberapa tahap : 1. Tahap permainan soliter : Pada tahap ini anak bermain sendiri dimana anak memperlakukan teman sebayanya sebagai benda. 2. Tahap permainan semi soliter/permainan parallel : Ketika anak berumur 2 tahun, dia bermain sendiri walaupun ada teman sebaya disekitarnya. 3. Tahap permainan kooperatif : Pada tahap ini anak mulai melakukan kegiatan bersama-sama dalam kelompok sebayanya, biasanya berjumlah kelompok kecil 3-5 orang 4. Fase permainan khayal : Pada fase ini (ketika anak berusia 3-5 th) anak menirukan peranan-peranan yang serupa dengan orang dewasa. Pada anak mulai berkembang konsep tentang dirinya dan orang lain sering kali bersifat tak konsisten atau selalu berubah-ubah 5. Fase bermain kelompok : Pada fase sudah berkembang kepatuhan pada kelompok pimpinan dan merupakan perkembangan dari fase-fase sebelumnya. 6. Permainan Tim yang terorganisasi (10-14) orang. : Kelompok pada fase ini sudah terorganisasi, mempunyai aturan-aturan, upacara atribut dan sebagainya. 7. Fase setelah masa pubertas : Pada fase ini jumlah anggota kelompok sangat kecil dan bersifat homogen dan terbentuk atas dasar kesamaan minat. Perkembangan sosial ini berlangsung terus hingga anak menjadi orang dewasa. Keberhasilan seseorang dalam melalui tahapan-tahapan ini akan terlihat dari peranan sosialnya setelah ia dewasa. Orang dewasa akan berperan dalam kelompoknya sesuai dengan tujuan yang hendak ia capai dalam memasuki suatu kelompok. Pada umumnya orang dewasa akan mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompok apabila ada persamaan nilai kelompok dengan yang dianutnya. Timbul perpecahan-perpecahan dalam kelompok yang biasanya disebabkan oleh benturan-benturan nilai antara sesama anggota kelompok. F. Masalah/ Realita di Lapangan Proses sosialisasi pada anak balita. Pada tahap persiapan di usia balita adalah tahap dimana seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Pengasuhan anak yang dilakukan sepenuhnya oleh keluarga membuat apa yang diajarkan dan diharapkan oleh keluarga kepada anak dapat dilihat dan diterima oleh anak karena orang tua dapat memantau dan mengontrol perkembangan anak. Misalnya, orang tua mengajarkan pada anak untuk mengucapkan kata “ibu” dan anak mampu mengucapkannya “buk”. Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata “ibu” tersebut dengan kenyataan yang dialaminya. • Desa : proses sosialisasi anak balita pada masyarakat desa dilakukan secara penuh oleh agen sosialisai utama yaitu keluarga. Pada umumnya, perempuan di desa yang sudah menikah tidak bekerja dan hanya mengurus keperluan rumah tangga sehingga ketika dalam sebuah keluarga memiliki anak maka urusan pengasuhan anak dilakukan sepenuhnya oleh ibu. • Kota : pada masyarakat kota urusan pengasuhan anak tidak sepenuhnya dilakukan oleh ibu. Kehidupan kota yang menuntut biaya hidup yang lebih mahal daripada di desa serta kedudukan wanita yang sama oleh lelaki karena telah memiliki pendidikan membuat banyak wanita kota yang bekerja untuk menopang perekonomian keluarganya. Sehingga banyak ibu-ibu rumah tangga yang memiliki anak balita menyerahkan pengasuhan anaknya kepada baby sister, tetangga, maupun keluarga terdekatnya dikarenakan tuntutan Proses pengenalan kebiasaan-kebiasaan pada tahap persiapan bagi anak harus terjalin kerjasama antara orang tua dengan pengasuh anak. Agar harapan-harapan orang tua terhadap anak dapat terbentuk. Misalnya, orang tua mengajarkan untuk makan tepat waktu kepada anaknya dan hal tersebut disampaikan kepada pengasuhnya kemudian pengasuh dapat melanjutkan dan menerapkan kebiasaan tersebut kerja yang tidak memungkinkan ibu bisa selalu berada dirumah dan mengasuh anaknya.   Proses sosialisasi pada remaja. Masa remaja ditinjau dari rentang kehidupan manusia merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Sifat-sifat remaja sebagian sudah tidak menunjukkan sifat-sifat masa kanak-kanaknya, tetapi juga belum menunjukkan sifat-sifat sebagian orang dewasa. Hurlock (1991: 206), menyatakan awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun hingga 16 atau 17 tahun, sampai 18 tahun, yaitu usia yang matang secara hukum. Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya. • Desa : proses sosialisasi anak pada usia remaja di desa, pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebaya bertambah luas dan pengaruhnya cukup kuat. Sehingga anak banyak mendapatkan pengalaman baru maupun pengaruh di lingkungan sosialnya bersama dengan teman-teman sebayanya, lingkungan pendidikan, maupun media massa. Namun, teman sebaya sangat berperan besar terhadap proses sosialisasi remaja di desa. Anak mendapat nilai-nilai baru dari teman-teman sebayanya sehingga anak belajar juga untuk menyesuaikan atau memfilter hal-hal yang baik baginya. Karena pada usia ini anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi maka orang tua perlu mengontrol perkembangan dan lingkungan pergaulan anak agar anak tetap berada pada koridor yang benar sesuai dengan ajaran/nilai/norma yang telah diajarkan oleh orang tua. • Kota : proses sosialisasi anak pada usia remaja di kota, pengaruh teman sebaya, lembaga pendidikan maupun media massa sama kuatnya terhadap proses sosialisasi pada anak remaja di kota. Remaja di kota juga banyak menghabiskan waktunya bersama dengan teman sebayanya dengan jalan-jalan di mal maupun nongkrong-nongkrong bersama. Lembaga pendidikan juga berpengaruh terhadap perilaku, menambah pengetahuan dan ketrampilan anak. Anak remaja kota yang pada umumnya sudah mengenal teknologi dan media massa sangat berpengaruh terhadap proses sosialisasinya. Efek negatif yang ditimbulkan dengan adanya televisi, internet, handphone, majalah, dll membuat anak banyak menghabiskan waktu di rumah dan tidak bersosialisasi dengan tetangganya sehingga anak memiliki kepribadian cenderung tertutup bahkan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar tempat tinggalnya   KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI (IPS AUD) DISUSUN OLEH: RANI FITIRANI (06121014033) DOSEN: Dra. YETTYS, M.Pd. PRODI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN PELAJARAN 2012-2013  KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI (IPS AUD) DISUSUN OLEH: MEDDY KETPRATAMA (06121014029) DOSEN: Dra. YETTY RAHELLY, M.Pd. PRODI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN PELAJARAN 2012-2013

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI

A. keterampilan sosial anak usia dini

tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah untuk membantu dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak. Dalam pendidikan anak usia dini terdapat aspek-aspek yang harus dikembangkan dan ditanamkan dalam diri anak, diantaranya aspek kognitif, bahasa, nilai agama dan moral serta sosial.
Sosial mencakup sikap tenggang rasa, peduli, saling menghargai, saling menghormati, bekerjasama, empati dan lain sebagainya.

·         Mengapa keterampilan sosial anak perlu dikembangkan?
karena pada dasarnya setiap anak akan memerlukan bantuan orang lain dan akan hidup menjadi manusia sosial, namun dalam kenyataannya masih banyak anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan orang lain. Oleh karena itu anak harus memiliki keterampilan sosial pada dirinya.

·         Keterampilan sosial anak usia dini menurut para ahli.
Ø  Chaplin dalam Suhartini ( 2004 : 18).
Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada di sekitarnya

Ø  Menurut Septiana (2009)
 kurangnya seseorang memiliki keterampilan sosial menyebabkan kesulitan perilaku di sekolah, kenakalan, tidak perhatian, penolakan rekan, kesulitan emosional, bullying, kesulitan dalam berteman, agresivitas, masalah dalam hubungan interpersonal, miskin konsep diri, kegagalan akademik, kesulitan konsentrasi, isolasi dari teman sebaya dan depresi.

Ø  Kurniati (2005 : 35)
 bahwa keterampilan sosial adalah kebutuhan primer yang perlu dimiliki anak-anak bagi kemandirian pada jenjang kehidupan selanjutnya, hal ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Ø  Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995)
mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan.
Mengingat keterampilan sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya keterampilan sosial ditanamkan pada anak sedini mungkin.

Keterampilan sosial pada anak dapat dikembangkan melalui berbagai metode di antaranya, metode bercerita, metode tanya jawab, metode karyawisata, dan metode bermain peran. Salah satu metode yang lebih efektif untuk mengembangkan empati anak yaitu metode bermain peran.

·         Cara meningkatkan terampilan sosial pada anak usia dini
pengajaran keterampilan sosial kepada anak-anak seperti kerjasama, komunikasi positif, yang membantu dan sopan, sangat penting untuk perkembangan anak yang tepat.
Mengajarkan ketrampilan sosialisasi kepada anak akan efektif bila dilakukan dengan permainan dan kegiatan. Orang tua harus jeli memilih jenis permainan dimana anak akan bisa belajar berperilaku,berkomunikasi dan menampilkan diri dalam situasi sosial.
Beberapa bentuk permainan yang bisa dicoba:

1. Melatih Kerjasama
Mintalah anak-anak berdiri membentuk lingkaran.
Selanjutnya, menggambar sebuah lingkaran di tengah dengan kapur.
Berikan instruksi yang segera setelah Anda peluit, anak-anak harus menjalankan dan mengakomodasi diri dalam lingkaran ditarik oleh Anda.
Setelah anak-anak melakukannya, membuat lingkaran lain yang lebih kecil di antara lingkaran sebelumnya yang dipakai. Sekarang, anak-anak harus menyesuaikan diri di daerah yang lebih kecil. Saat melakukan sehingga anak-anak harus terus satu sama lain atau membuat saran bagaimana agar sesuai itu. Jadi, dengan melakukan permainan tim tersebut untuk anak-anak, komunikasi dan kerjasama di antara mereka bisa ditingkatkan jauh.


2. Belajar Mendengar dan Memahami Kenyataan

Sering kali,anak-anak kurang memperhatikan apa yang orang lain katakan di kelas. Menanamkan keterampilan mendengarkan menjadi sangat penting untuk menjaga sopan santun. Sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak mengajarkan keterampilan sosial adalah meminta anak-anak duduk dalam lingkaran. Selanjutnya, minta salah satu dari mereka untuk memberitahu orang lain hobi favoritnya. Setelah ini, anak duduk di sebelahnya harus memberitahu hobi favoritnya, tapi sebelum itu ia harus mengulang hobi anak sebelumnya. Demikian juga, semua anak memberitahu hobi mereka dan ulangi yang anak-anak sebelumnya. Setiap kali seorang anak lupa, guru atau anak-anak lain yang dapat membantu dia. Kegiatan ini sangat tepat dan menyenangkan guna mengajarkan anak-anak bergiliran ketika berbicara serta mendengarkan orang lain.


3. Belajar Menghargai dan Berkomunikasi Positif

Buat anak-anak berdiri membentuk lingkaran. Selanjutnya, minta mereka untuk satu per satu menceritakan satu hal yang mereka sukai dari anak lain di kelas. Sebagai contoh tentang tulisan tangan,warna rambutatau bagaimana teman mereka ketika sedang bernyanyi, dll Setelah itu, anak harus berpindah tempat ke teman yang dia ceritakan. Sekarang, giliran anak ini untuk mengatakan sesuatu yang baik tentang anak lagi. Ini adalah kegiatan menyenangkan untuk membangun Team yang baik. Lanjutkan permainan sampai masing-masing anak mendapat kesempatan untuk mengubah tempat.
4. Role Play

Role play adalah permainan yang sangat bagus untuk mengajarkan ketrampilan sosial kepada anak autis.
Misalnya, untuk mengajar anak-anak sopan santun, Anda dapat meminta dua anak membuat sebuah adegan, dimana satu memberikan yang buku dan yang lain mengatakan "terima kasih". Atau, adegan dimana seorang anak tidak sengaja menginjak kaki seseorang yang lain dan kemudian " minta maaf" kepadanya. Anda bisa membimbing anak bagaimana untuk menyapa, berbicara dan menjadi teman dengan seseorang. Demikian juga, bagaimana membantu orang lain, bagaimana menjadi seorang teman yang baik, bagaimana menjadi hormat, semua bisa diajarkan secara efektif dengan perencanaan memainkan peran kreatif.


5. Berperan sebagai Model

Untuk semua orang tua yang bertanya-tanya,, "bagaimana untuk mengajarkan keterampilan sosial kepada anak-anak?" Jawabannya terletak pada pemodelan perilaku yang benar kepada anak-anak dalam keadaan apapun. Anak-anak sering meniru perilaku dan pola komunikasi diikuti oleh orangtua dan guru mereka. Jadi, untuk meningkatkan keterampilan sosial, orang dewasa harus memastikan bahwa mereka sendiri adalah sopan, sopan, koperasi, positif dan membantu orang, jika mereka mengharapkan anak-anak menjadi begitu.
Selain permainan di atas, untuk mengajar keterampilan sosial kepada anak-anak, olahraga dan kegiatan kelompok seperti membaca bersama-sama dapat cukup efektif juga. Belajar keterampilan sosial adalah kegiatan yang berkelanjutan sampai dewasa maka kunci utama adalah terletak pada praktek dan keterampilan yang dipelajari setiap menit satu hari!



B.        Karakteristik serta faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial anak usia dini
·         Faktor-faktor keterampilan sosial Menurut para ahli
Ø  Darwish, dkk (2001, h.13)
 menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial anak adalah bermain
Ø  Macquarie (2005)
bahwa ketrampilan sosial pada anak dapat dikembangkan lewat bermain bersama aengan lingkungan (orangtua dan teman sebaya), seperti melakukan permainan dengan teman sebaya
Ø  Menurut Yanti (2005) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah :
a.       Kondisi anak : temperamen anak, regulasi emosi, kemampuan sosial kognitif
b.      Interaksi anak datau orang lain.

Ø  menurut Bloom (1990) adalah :
a.       Faktor personal yang meliputi perubahan fisik badan, perkembangan struktur kognitif, perkembangan struktur afektif, perubahan perilaku kebiasaan
b.      Faktor interpersonal yang meliputi perubahan relasi dalam keluarga, perubahan relasi dalam teman sebaya.
c.       Relasi sosial yang meliputi suku, jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, agama, prasangka.
d.      Perubahan interbudaya antara lain perubahan permainan (permainan tradisional menjadi permainan modern).
Ø  Menurut Goddard (2005)
faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah bermain bersama teman sebaya. Bermain menyebabkan anak berinteraksi dengan orang lain, belajar menerima dan berbagi, serta mengajarkan untuk mengeskpresikan diri sesuai dengan tuntutan sosial.

Bermain membuat anak belajar secara langsung dan dalam suasana yang menyenangkan mengenai interaksi dengan orang lain sehingga membuat mereka mendapatkan pengalaman positif yang berkaitan dengan interaksi sosial. Lebih lanjut, pengalaman yang diperoleh lewat permainan akan membuat anak lebih tahu mengenai cara berinteraksi, cara memelihara pertemanan dalam jangka waktu panjang, cara mengembangkan strategi bergaul yang bijaksana, menerima orang lain, mengenal nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, dan cara memecahkan masalah. Pendapat Dalrymple (2004) semakin menegaskan bahwa cara yang efektif untuk mengembangkan ketrampilan sosial anak adalah melalui bermain.

            C.        Sejarah ips pada anak usia dini
Sesungguhnya sejak  dicanangkanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di seluruh wilayah  Indonesia mendapat respons prokontra dalam masyarakat. Sebagian masyarakat menyambutnya sebagai sebuah peluang dan kesempatan usaha; sebagian lainnya berbeda karena program PAUD tidak dipersiapkan secara matang, tidak berjalan seiring dengan pengelolaan taman kanak-kanak, sehingga menimbulkan benturan di lapangan baik antara guru, penyelenggara, dan organisasi yang menaungi lembaga tersebut. 

Ada baiknya, sebelum membaca berbagai wacana tentang prokontra PAUD, mari kita telisik tetang sejarah PAUD di Indoensia. Lintasan sejarah PAUD setidaknya mengalami dinamika dan prosesnya selama tujuh periode yang meliputi penjajahan Belanda, periode Taman Siswa, penjajahan Jepang dan awal merdeka, awal kemerdekaan dan gerakan Yayasan Bersekolah pada Iibu, taman kanak-kanak Al’ Quran oleh BKPRMI, periode lahirnya PAUD tahun 2003 hingga sekarang. 


Periode Penjajahan Belanda

pendidikan anak usia dini atau prasekolah sebenarnya bukan barang baru dan telah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam masa penjajahan Belanda misalnya terdapat Froebelschool, yaitu sekolah yang menggunakan system Froebel bagi anak Belanda, China, dan anak-anak kaum ningrat yang bekerja dengan pemerintah Belanda. Berselang beberapa lama, kemudian muncul sekolah bagi anak usia dini yang menggunakan system Montessori (Montessorischool). Selanjutnya, pada tahun 1922 lahir taman Indria yang didirikan oleh taman siswa di Yogyakarta, yang merupakan produk awal bangsa Indoensia. Dalam tulisan Ki Hajar Dewantara (1940) sekolah untuk anak berusia dibawah tujuh tahun selain ketiga nama itu dikenal pula nama Kindergarten, Kleuterschool, Bewaarschool, dan Voorklas. 
Sekolah Froebel (froebelschool) berasal dari Friedrich Froebel (1782-1852), seorang tokoh penggagas dan sekaligus bapak Kindergarten dunia yang berasal dari Jerman. Konsep Froebel merupakan terobosan baru dalam pendidikan anak usia dini setelah Pestalozzi dan awalnya terkenal di Eropa kemudia merambah ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Froebel sendiri sebenarnya tidak menyukai istilah “school”, tetapi gerten (taman dalam bahasa Jerman). Ada perbedaan dalam penggunaan istilah itu, “taman” lebih mengarah ke sebuah tempat yang menyenangkan, menarik, bebas bergerak, tempat bermain; sedangkan “sekolah” cenderung kepada sebuah tempat pendidikan dengan setumpuk peraturan ketat yang harus diikuti dan semata-mata berorientasi penguasaan akademik. 

Pada zaman penjajahan Belanda, selain lebih bernuansa kepada kepentingan colonial, Froebelschool bagi kaum ibu hanya bertujuan agar anak-anak mereka pandai membaca, menulis, berhitung, dan bahasa Belanda; padahal tujuan pendidikan Froebel tidak mengajarkan anak baca, tulis, hitung. Sampai sekarang ini tak heran masih banyak iibu-ibu yang hanya mengharapkan anakanaknya bisa berhitung ketika masuk taman kanak-kanak. 

Sekolah Montessori berasal dari nama tokoh maria Montessori (1870-1952), mulai dikenal di Indonesia sekitar tahhun 1940-an, beliau bahkan sempat ingin datang pada tahun 1941 ke Indonesia, tetapi batal karena masa peperangan dan dianggap membahayakan pemerintahan Belanda. Gagasan Montessori tentang hidup bebas dan merdeka mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pendidikan Indonesia waktu itu karena memperjuangkan roh kemerdekaaan dan hal itu sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang menginginkan hidup bebas dan merdeka. 

Periode taman siswa 

Pada 3 Juli tahun 1922 berdiri perguruan  nasional Taman Siswa oleh putra Indoensia Ki Hajar Dewantara. Pada awalnya perguruan nasional itu membuka “Taman Lare” atau “Taman Anak” atau dikenal pula “Sekolah Froebel Nasional” atau “Kindertuin”, untuk anak dibawah usia 7 tahun. Dalam perkembangannya “Taman Anak” kemudian berubah menjadi “Taman Indria”. Penggunaan nama Taman Indria, berdasarkan konsep Froebel dan Montessori yang menganggap jiwa anak dibawah usia 7 tahun berada dalam periode perkembangan panca indranya. Ki Hajar Dewantara mengakui bahwa Taman Indria merupakan gabungan dari dua system pendidikan, yaitu Froebel dan Montessori, walaupun ada perbedaan terutaa disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia sebagai orang timur. 

                                    Taman siswa boleh dibilang memakai kedua-duanya sebagai terkandung dalam sifat pendidikan Montessori dan Froebel itu, akan tetapi pelajaran panca indra dan permainan anak itu tidak terpisah, yaitu dianggap satu, sebab ddalam Taman Indria hiduplah kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala keadaan hidupnya anak-anak itu sudah dihiasi oleh Sang Maha Among segala alat yang bersifat mendidik si Anak (Ki Hajar Dewantara, 1977;242).


Periode Penjajahan Jepang dan Awal Kemerdekaan
 
Masuknya Jepang sebagai penjajah bangsa Indonesia pada tahun 1942 ternyata membawa perubahan terhadap perkembangan pendidikan anak usia dini, yang tadinya bercorak Belanda berubah ke corak Jepang. Jepang berussaha memasukkan idealisme ke dalam jiwa anak-anak Indonesia. Sekolah pra sekolah seperti Froebelschool tetap ada akan tetapi berganti nama taman kanak-kanak (kindergarten). Materi belajar anak termasuk permainan, nyanyian, cerita diganti dengan nyanyian dan cerita-cerita bangsa Jepang. 

Memasuki gerbang kemerdekaan tahun 1945, kesadaran bangsa Indonesia mulai tumbuh. Para tokoh pendidikan ketika itu seperti Ki hajar Dewantara dan Ali Sastroamidjaja (mantan mentri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan waktu itu) menyadari bahwa pendidikan nasional harus bercorak nasional sesuai kebudayaan bangsa Indonesia; bukan Belanda, Amerika, atau Jepang. Indonesia memiliki keluhuran budaya yang tinggi, kaya akan aneka permainan, nyanyian, cerita-cerita rakyat. Akan tetapi karena baru merdeka, disusul agresi Belanda dan pemberontakan dalam negeri, nasib pendidikan nasional belum berubah; bahkan pada tahun 1950, mengalami krisis pendidikan. Sebagian penduduka buta huruf. Indonesia tidak punya guru, kekurangan fasilitas belajar, dan perhatian pemerintah masih difokuskan kepada agresi dan pemberontakan dalam negeri, sehingga sebagian besar anak Indonesia dari Sabrang sampai Merauke tidak sekolah.

            D.        lingkungan sekitar sbg media dan sumber belajar aud
1.      Pengertian Lingkungan Sebagai Sumber Belajar

Sebagai makhluk hidup, anak selain berinteraksi dengan orang atau manusia lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan benda-benda mati. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan, sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah. Manusia merupakan salah satu anggota di dalam lingkungan hidup yang berperan penting dalam kelangsungan jalinan hubungan yang terdapat dalam sistem tersebut.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) lingkungan diartikan sebgai bulatn yang melingkungi (melingkari). Pengertian lainnya yaitu sekalian yang terlingkung di suatu daerah. Dalam kamus Bahasa Inggris peristilahan lingkungan ini cukup beragam diantaranya ada istilah circle, area, surroundings, sphere, domain, range, dan environment, yang artinya kurang lebih berkaitan dengan keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitar atau sekeliling.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa lingkungan itu merupakan kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur biotik (makhluk hidup), abiotik (benda mati) dan budaya manusia.

2.      Nilai-Nilai Lingkungan sebagai Sumber Belajar
Lingkungan yang ada di sekitar anak merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini.
  1. Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari anak
Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan anak karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab anak dapat mengalami secara langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi dengan lingkungan tersebut.
Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak usia dini.
    1. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
    2. Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak
Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.
4.      Pemanfaatan lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar anak (learning activities) yang lebih meningkat.
Penggunaan cara atau metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan untuk anak usia dini.

3.   Jenis-Jenis Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
Pada dasarnya semua jenis lingkungan yang ada di sekitar anak dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sepanjang relevan dengan komptensi dasar dan hasil belajar yang bisa berupa lingkungan alam atau lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan budaya atau buatan.

a. Lingkungan alam
Lingkungan alam atau lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah, seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan), tumbuh-tumbuhan dan hewan (flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan sebagainya.
Lingkungan alam sifatnya relatif menetap, oleh karena itu jenis lingkungan ini akan lebih mudah dikenal dan dipelajari oleh anak. Sesuai dengan kemampuannya, anak dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dan dialami dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga proses terjadinya.
Dengan mempelajari lingkungan alam ini diharapkan anak akan lebih memahami gejala-gejala alam yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, lebih dari itu diharapkan juga dapat menumbuhkan kesadaran sejak awal untuk mencintai alam, dan mungkin juga anak bisa turut berpartisipasi untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam.

b. Lingkungan sosial
Selain lingkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas jenis lingkungan lain yang kaya akan informasi bagi anak usia dini yaitu lingkungan sosial.
Hal-hal yang bisa dipelajari oleh anak usia dini dalam kaitannya dengan pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar ini misalnya:
1.      mengenal adat istiadat dan kebiasaan penduduk setempat di mana anak tinggal.
2.      mengenal jenis-jenis mata pencaharian penduduk di sektiar tempat tinggal dan sekolah.
3.      Mengenal organisasi-organisasi sosial yang ada di masyarakat sekitar tempat tinggal dan sekolah.
4.      Mengenal kehidupan beragama yang dianut oleh penduduk sekitar tempat tinggal dan sekolah.
5.      Mengenal kebudayaan termasuk kesenian yang ada di sekitar tempat tinggal dan sekolah.
6.      Mengenal struktur pemerntahan setempat seperti RT, RW, desa atau kelurahan dan kecamatan.
Pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar dalam kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sebaiknya dimulai dari lingkungan yang terkecil atau paling dekat dengan anak.

c. Lingkungan budaya
Di samping lingkungan budaya dan lingkungan alam yang sifatnya alami, ada juga yang disebut lingkungan budaya atau buatan yakni lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Anak dapat mempelajari lingkungan buatan dari berbagai aspek seperti prosesnya, pemanfaatannya, fungsinya, pemeliharaannya, daya dukungnya, serta aspek lain yang berkenan dengan pembangunan dan kepentingan manusia dan masyarakat pada umumnya.
Agar penggunaan lingkungan ini efektif perlu disesuaikan dengan rencana kegiatan atau program yang ada. Dengan begitu, maka lingkungan ini dapat memperkaya dan memperjelas bahan ajar yang dipelajari dan bisa dijadikan sebagai laboratorium belajar anak.

            E.        pengukuran perilakusosial anak

a).          Kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain
Pada awal  masa  bayi  (  kira-kira  usia  tiga  bulan),  anak  sudah  mulai menunjukkan keinginannya untuk berhubungan dengan orang lain, dengan “senyum sosial” yang ditunjukkannya bila ada orang yang mendekatinya. Pada saat itu sifat hubungannya  dengan  orang  lain  masih  sangat  terbatas,  karena  kemampuan  reaksi dan komunikasinya yang juga masih amat terbatas. Kemudian pada akhir masa bayi (kira-kira usia dua tahun) anak sudah mulai dapat berbicara dan memiliki beberapa puluh  kosa  kata,  keinginan  untuk  menjalin  hubungan  antar  manusia  sudah  lebih nyata, hal ini ditampakkan melalui sikap dan perilakunya terhadap orang-orang yang ditemuinya, terutama dengan anak-anak sebaya.
Masuknya  anak  ke  TK  memberikan  kesempatan  bergaul  dengan  anak  lain yang  sebaya  semakin  besar.  Hal  ini  memberikan  peluang  pada  anak  untuk  lebih melancarkan  dan  meningkaan  kemampuan  berkomunikasinya.  Pada  usia  TK  anak diharapkan  telah  dapat  menyatakan  perasaan-perasaannya  melalui  kata-kata,  bila marah  pada  temannya  ia  akan  mengatakan  “kamu  nakal  atau  kamu  jahat”,  kalau takut sesuatu ia akan mengatakan “saya takut itu” atau kalau ia senang ia juga akan mengatakan “saya senang”. Selain  dari  itu,  anak  juga  sudah  mulai  mampu  membaca  situasi  yang dihadapi.  Bila  merebut  mainan  temannya,  kemudian  temannya  cemberut  dan  guru memelototinya, ia tahu bahwa perilakunya itu tidak disukai oleh teman dan gurunya.
Anak juga mulai dapat memilih teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai  mempunyai  teman  yang  dianggap  sesuai  dengan  keinginannya,  mulai mempunyai  teman  dekat,  dan  menghindari  teman-teman  yang  tidak  disukainya.
Pada  usia  ini  anak  juga  sudah  mulai   dapat  bermain  dalam  kelompok  kecil  yang menuntut kebersamaan dan kerjasama, mulai belajar berbagai hal dengan orang lain, belajar menunggu giliran dan lain-lain. Pengalaman berhubungan (bersosialisasi) dengan orang lain ini memberikan pelajaran  pada  anak   bahwa  ada  perilaku-perilaku  yang  disukai  oleh  teman-teman atau gurunya yang menyebabkan ia diterima di lingkungan mereka, dan ia tahu pula bahwa ada perilaku-perilaku yang tidak disukai temannya. Dengan pengetahuannya itu  anak  mulai  mengubah  perilaku  yang  negatif  dan  mengembangkan  perilakuperilaku  yang  positif  agar  hubungan  dengan  orang  lain  dapat  tetap  berlangsung dengan  baik.  Anak  semakin  mampu  mengendalikan  perasaan-perasaannya  dan mengikuti  aturan-aturan  yang  ditentukan  oleh  lingkungannya,  untuk  dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Bila  pengalaman  awal  seorang  anak  dalam  bersosialisasi  lebih  banyak memberi kesenangan dan kepuasan, maka dapat diperkirakan proses sosialisasinya berkembang  ke  arah  yang  positif,  tetapi  sebaliknya  bila  tidak,  hambatan  dan kesulitan dalam bersosialisasi akan banyak ditemui anak.

Menurut Dini P. Daeng S (1996: 114) ada empat faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosialisasi, yaitu :
1.      Adanya  kesempatan  untuk  bergaul  dengan  orang-orang  di  sekitarnya  dari berbagai usia dan latar belakang. Semakin banyak dan bervariasi pengalaman dalam bergaul dengan orang-orang di  lingkungannya,  maka  akan  semakin  banyak  pula  hal-hal  yang  dapat dipelajarinya, untuk menjadi bekal dalam meningkaanketerampilan sosialisasi tersebut.
2.      Adanya minat dan motivasi untuk bergaul
Semakin  banyak  pengalaman  yang  menyenangkan  yang  diperoleh  melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat dan motivasi untuk bergaul juga akan semakin  berkembang.  Keadaan  ini  memberi  peluang  yang  lebih  besar  untuk meningkaan  ketrampilan  sosialisasinya.  Dengan  minat dan  motivasi  bergaul yang besar anak akan terpacu untuk selalu memperluas wawasan pergaulan dan pengalaman  dalam  bersosialisasi,  sehingga  makin  banyak  pula  hal-hal  yang dipelajarinya  yang  pada  akhirnya  akan  meningkaan  kemampuan bersosialisasinya.  Sebaliknya  bila  seorang  anak  tidak  memiliki  minat  dan motivasi untuk bergaul, akan cenderung menyendiri dan lebih suka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak banyak melibaan dan menuntut hubungan dengan orang lain. Dengan demikian makin sedikit pengalaman bergaulnya dan makin sedikit  pula  yang  dapat  dipelajarinya  tentang  pergaulan  yang  dapat  menjadi bekal untuk meningkaan kemampuan sosialisasinya.
2.      Adanya  bimbingan  dan  pengajaran  dari  orang  lain,  yang  biasanya  menjadi “model” bagi anak. Walaupun kemampuan sosialisasi ini dapat pulaberkembang melalui cara “cobasalah”  yang  dialami  oleh  anak,  melalui  pengalaman  bergaul  atau  dengan “meniru”  perilaku  orang  lain  dalam  bergaul,  tetapi  akan  lebih  efektif  bila  ada bimbingan dan pengajaran yang secara sengaja diberikan oleh orang yang dapat dijadikan “model” bergaul yang baik bagi anak.
3.      Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak.
Dalam  berkomunikasi  dengan  orang  lain,  anak  tidak  hanya  dituntut   untuk berkomunikasi  dengan  kata-kata  yang  dapat  difahami, tetapi  juga  dapat membicarakan topik  yang dapat dimengerti dan  menarik bagi orang lain  yang menjadi  lawan  bicaranya.  Kemampuan  berkomunikasi  ini  menjadi  inti  dari sosialisasi.

Menurut  Elizabeth  B.  Hurlock,  (1978  :  228)  untuk   menjadi  orang  yang mampu bersosialisasi memerlukan tiga proses.  Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan. Kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasinya. Ketiga prosessosialisasi tersebut adalah :
1.      Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial.
Setiap  kelompok  sosial  mempunyai  standar  bagi  para  anggotanya  tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat besosialisasi anak tidak hanya harus mengetahui  perilaku  yang  dapat  diterima,  tetapi  mereka  juga  harus menyesuaikan perilakunya dengan patokan yang dapatditerima.
2.      Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial mempuyai pola  kebiasaan  yang  telah  ditentukan  dengan  seksama oleh  para  anggotannya dan  dituntut  untuk  dipatuhi.  Sebagai  contoh,  ada  peran  yang  telah  disetujui bersama  bagi  orang  tua  dan  anak  serta  ada  pula  peran  yang  telah  disetujui bersama bagi guru dan murid. Anak dituntut untuk mampu memainkan peranperan sosial yang diterimanya.
3.      Perkembangan  sikap  sosial.  Untuk  bersosialisasi  dengan  baik  anak-anak  harus menyenangi   orang  dan  kegiatan   sosial.  Jika  mereka dapat  melakukannya, mereka  akan  berhasil  dalam  penyesuaian  sosial  dan  diterima  sebagai  anggota kelompok sosial tempat mereka bergaul.

b)     Kemampuan melakukan kegiatan bermain dan menggunakan waktu luang
Dunia anak adalah dunia bermain, khususnya pada anak prasekolah bermain merupakan kebutuhan dasar mereka. Dengan demikian wajarlah bila sebagian besar waktu anak diisi dengan kegiatan bermain.
Elizabeth  B.  Hurlock  (1978:  234)  memberikan  batasan tentang  bermain sebagai  “kegiatan  bermain  adalah  kegiatan  yang  dilakukan  tanpa mempertimbangkan  hasil  akhir,  semata-mata  untuk  menimbulkan  kesenangan  dan kegembiraan saja. Biasanya anak melakukakannya secara suka rela, tanpa paksaan dan  tanpa  ada  aturan  main  tertentu,  kecuali  bila  ditentukan  oleh  pihak-pihak  yang terlibat dalam permainan tersebut”. Anak  usia  prasekolah  pada  umumnya  senang  melakukan  permainan  yang mengandung  aktivitas  gerak,  seperrti  berlari,  meloncat,  memanjat  dan  bersepeda, tetapi  ada  pula  anak  yang  tidak  begitu  menyukai  kegiatan  bermain  aktif,  anak demikian  lebih  memilih  bentuk  kegiatan  bermain  pasif  yang  kurang  banyak merangsang  aspek  fisik  motoriknya  tetapi  lebih  merangsang  aspek  perkembangan lainnya, terutama perkembangan kognitifnya.
Kedua jenis kegiatan bermain ini baik bermain aktifmaupun bermain pasif sama-sama  bermanfaat  bagi  perkembangan  anak,  namun  untuk  memberi  manfaat yang  optimal  dan  bersifat  menyeluruh  bagi  perkembangan  anak,  kedua  jenis kegiatan bermain ini perlu dilakukan oleh anak secara seimbang.

c)          Kemampuananakmengatasisituasisosialyangdihadapi
Kemampuan  anak  dalam  mengatasi  situasi  sosial  yang  dihadapi  erat kaitannya dengan kemampuan anak dalam menjalin hubugan antar manusia. Hal ini disebabkan karena situasi sosial yang dihadapi anak, mau tidak mau melibaan orang lain sehingga pada dasarnya tidak dapat lepas dari  hubungannya dengan orang lain. Salah  satu  yang  berkaitan  dengan  kemampuan  mengatasi  situasi  sosial  ini,  anak tidak  selalu  harus  berhubungan  secara  langsung  dengan  orang  lain.  Masalah  yang dihadapinya  tidak  berhubungan  langsung  dengan  orang lain,  tetapi  berhubungan dengan  situasi  sosial,  yaitu  situasi  yang  diciptakan  oleh  orang  lain.  Misalnya, seorang anak TKsedang mengikuti kegiatan menggambardi kelas, yang sebenarnya tidak  disukainya.  Keadaan  ini  menimbulkan  perasaan  dan  pengalaman  yang  tidak enak  pada  dirinya.  Bila  ia  tidak  mau  melakukan  kegiatan  itu  ia  takut  dihukum gurunya,  tetapi  bila  ia  mengikuti  terus  ia  merasa  sangat  bosan.  Mengatasi  situasi semacam ini diperlukan kemampuan anak untuk mencaripemecahan masalah yang sebaik-baiknya  sesuai  dengan  perkembangan  yang  telah  dicapainya.  Pada  usia  ini diharapkan  anak  telah  menyadari  tuntutan  yang  diharapkan  oleh  lingkungan.  Ia sudah harus dapat mengikuti aturan main yang ada, mengikuti tokoh otoritas yang dihadapi dan mencoba untuk mengendalikan perasaan-perasaanya dengan cara yang lebih positif.

            F.         proses pembentukan keterampilan sosial anak usia dini

B.     Proses Sosialisasi
Proses ini artinya suatu proses dimana seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan kelompoknya. Maka kepribadian adalah keseluruhan faktor biologis, psikologis dan sosilogis yang mendasari perilaku individu.
Proses sosialisasi terjadi melalui dua cara yaitu:
a. Conditioning.
b. Komunikasi atau interaksi.
Conditioning, adalah keadaan yang menyebabkan individu mempelajari pola kebudayaan yang fundamental seperti cara makan, bahasa, berjalan, cara duduk, pengembangan tingkah laku dan sebagainya.
C. Proses Inkulturasi
Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pembudayaan yaitu seorang individu yang mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem nora dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaanya. Individu sejak kecil sudah mengawali proses inkulturasi dalam alam pikiran mereka sebagai warga suatu masyarakat. Mula-mula dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dari teman-teman mainnya. Selain itu ia sering belajar dengan meniru berbagai macam tindakan. Namun, sebelumnya perasaan dan nilai budaya yang meberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasikan dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru, maka tindakannya akan menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya itu untuk dibudidayakan. Berbagai macam norma kadang juga dipelajari seorang individu secara sebagian demiu sebagian dengan mendengarkan orang-orang di dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda. Sudah tentu ada juga norma-norma yang diajarkan kepadanya dengan sengaja, tidak hanya di lingkungan keluarga dan di luar keluarga saja, tetapi juga secara formal.

E.      Perkembangan Tingkah laku Kelompok
Perkembangan sosial melalui kelompok terjadi karena partisipasi sosial dalam peranan anak dalam kelompok sebaya terjadi melalui beberapa tahap :
1.      Tahap permainan soliter : Pada tahap ini anak bermain sendiri dimana anak memperlakukan teman sebayanya sebagai benda.
2.      Tahap permainan semi soliter/permainan parallel : Ketika anak berumur 2 tahun, dia bermain sendiri walaupun ada teman sebaya disekitarnya.
3.      Tahap permainan kooperatif : Pada tahap ini anak mulai melakukan kegiatan bersama-sama dalam kelompok sebayanya, biasanya berjumlah kelompok kecil 3-5 orang
4.      Fase permainan khayal : Pada fase ini (ketika anak berusia 3-5 th) anak menirukan peranan-peranan yang serupa dengan orang dewasa. Pada anak mulai berkembang konsep tentang dirinya dan orang lain sering kali bersifat tak konsisten atau selalu berubah-ubah
5.      Fase bermain kelompok : Pada fase sudah berkembang kepatuhan pada kelompok pimpinan dan merupakan perkembangan dari fase-fase sebelumnya.
6.      Permainan Tim yang terorganisasi (10-14) orang. : Kelompok pada fase ini sudah terorganisasi, mempunyai aturan-aturan, upacara atribut dan sebagainya.
7.      Fase setelah masa pubertas : Pada fase ini jumlah anggota kelompok sangat kecil dan bersifat homogen dan terbentuk atas dasar kesamaan minat.
Perkembangan sosial ini berlangsung terus hingga anak menjadi orang dewasa. Keberhasilan seseorang dalam melalui tahapan-tahapan ini akan terlihat dari peranan sosialnya setelah ia dewasa. Orang dewasa akan berperan dalam kelompoknya sesuai dengan tujuan yang hendak ia capai dalam memasuki suatu kelompok. Pada umumnya orang dewasa akan mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompok apabila ada persamaan nilai kelompok dengan yang dianutnya. Timbul perpecahan-perpecahan dalam kelompok yang biasanya disebabkan oleh benturan-benturan nilai antara sesama anggota kelompok.

F.      Masalah/ Realita di Lapangan
Proses sosialisasi pada anak balita.
Pada tahap persiapan di usia balita adalah tahap dimana seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Pengasuhan anak yang dilakukan sepenuhnya oleh keluarga membuat apa yang diajarkan dan diharapkan oleh keluarga kepada anak dapat dilihat dan diterima oleh anak karena orang tua dapat memantau dan mengontrol perkembangan anak. Misalnya, orang tua mengajarkan pada anak untuk mengucapkan kata “ibu” dan anak mampu mengucapkannya “buk”. Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata “ibu” tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
  • Desa : proses sosialisasi anak balita pada masyarakat desa dilakukan secara penuh oleh agen sosialisai utama yaitu keluarga. Pada umumnya, perempuan di desa yang sudah menikah tidak bekerja dan hanya mengurus keperluan rumah tangga sehingga ketika dalam sebuah keluarga memiliki anak maka urusan pengasuhan anak dilakukan sepenuhnya oleh ibu.
  • Kota : pada masyarakat kota urusan pengasuhan anak tidak sepenuhnya dilakukan oleh ibu. Kehidupan kota yang menuntut biaya hidup yang lebih mahal daripada di desa serta kedudukan wanita yang sama oleh lelaki karena telah memiliki pendidikan membuat banyak wanita kota yang bekerja untuk menopang perekonomian keluarganya. Sehingga banyak ibu-ibu rumah tangga yang memiliki anak balita menyerahkan pengasuhan anaknya kepada baby sister, tetangga, maupun keluarga terdekatnya dikarenakan tuntutan
Proses pengenalan kebiasaan-kebiasaan pada tahap persiapan bagi anak harus terjalin kerjasama antara orang tua dengan pengasuh anak. Agar harapan-harapan orang tua terhadap anak dapat terbentuk. Misalnya, orang tua mengajarkan untuk makan tepat waktu kepada anaknya dan hal tersebut disampaikan kepada pengasuhnya kemudian pengasuh dapat melanjutkan dan menerapkan kebiasaan tersebut     kerja yang tidak memungkinkan ibu bisa selalu berada dirumah dan mengasuh anaknya.



Proses sosialisasi pada remaja.
Masa remaja ditinjau dari rentang kehidupan manusia merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Sifat-sifat remaja sebagian sudah tidak menunjukkan sifat-sifat masa kanak-kanaknya, tetapi juga belum menunjukkan sifat-sifat sebagian orang dewasa. Hurlock (1991: 206), menyatakan awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun hingga 16 atau 17 tahun, sampai 18 tahun, yaitu usia yang matang secara hukum.
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
  • Desa : proses sosialisasi anak pada usia remaja di desa, pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebaya bertambah luas dan pengaruhnya cukup kuat. Sehingga anak banyak mendapatkan pengalaman baru maupun pengaruh di lingkungan sosialnya bersama dengan teman-teman sebayanya, lingkungan pendidikan, maupun media massa. Namun, teman sebaya sangat berperan besar terhadap proses sosialisasi remaja di desa. Anak mendapat nilai-nilai baru dari teman-teman sebayanya sehingga anak belajar juga untuk menyesuaikan atau memfilter hal-hal yang baik baginya. Karena pada usia ini anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi maka orang tua perlu mengontrol perkembangan dan lingkungan pergaulan anak agar anak tetap berada pada koridor yang benar sesuai dengan ajaran/nilai/norma yang telah diajarkan oleh orang tua.

  • Kota : proses sosialisasi anak pada usia remaja di kota, pengaruh teman sebaya, lembaga pendidikan maupun media massa sama kuatnya terhadap proses sosialisasi pada anak remaja di kota. Remaja di kota juga banyak menghabiskan waktunya bersama dengan teman sebayanya dengan jalan-jalan di mal maupun nongkrong-nongkrong bersama. Lembaga pendidikan juga berpengaruh terhadap perilaku, menambah pengetahuan dan ketrampilan anak. Anak remaja kota yang pada umumnya sudah mengenal teknologi dan media massa sangat berpengaruh terhadap proses sosialisasinya. Efek negatif yang ditimbulkan dengan adanya televisi, internet, handphone, majalah, dll membuat anak banyak menghabiskan waktu di rumah dan tidak bersosialisasi dengan tetangganya sehingga anak memiliki kepribadian cenderung tertutup bahkan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar tempat tinggalnya



KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI
(IPS AUD)


logo unsri.png
 













DISUSUN OLEH:
RANI FITIRANI (06121014033)

DOSEN: Dra. YETTYS, M.Pd.





PRODI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN PELAJARAN 2012-2013
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI
(IPS AUD)


logo unsri.png
 













DISUSUN OLEH:
MEDDY KETPRATAMA (06121014029)

DOSEN: Dra. YETTY RAHELLY, M.Pd.





PRODI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN PELAJARAN 2012-2013



No comments:

Post a Comment