Pembelajaran Bahasa Multilingual sebagai Syarat
Kebangkitan Bangsa
Oleh
Abdurahman
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Padang
Pendahuluan
Kemerdekaan
yang diperoleh bangsa Indonesia pada tahun 1945 merupakan sebuah hasil
perjuangan yang tidak terlepas dari bagaimana para penegak kemerdekaan itu
menyikapi dan mengambil keputusan bersama tentang perlunya berbahasa
perjuangan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai
produk pemikiran dan perjuangan ideal yang menjadi lentera perjuangan bangsa
Indonesia, yang dengannya orang Indonesia dapat melihat dan merumuskan
dengan jelas ke mana arah pergerakan bangsa harus dilabuhkan. Dengan adanya
bahasa Indonesia perjuangan bangsa kita --yang pada mulanya
masing-masing suku yang ada di nusantara eksis menyuarakan perubahan
dengan bahasa sendiri-sendiri seperti suku Jawa dengan bahasa Jawa, suku
Sunda dengan bahasa Sunda dan suku Minangkabau dengan bahasa Minangkabau dan
seterusnya— yang tercerai-berai dapat disatukan dan disuarakan dalam bahasa
Indonesia dengan bersatu ‘kata’, yaitu Indonesia merdeka.
Dalam
adanya sikap berbahasa yang demikian, jelaslah keputusan berbahasa Indonesia
itu telah menjadikan bangsa Indonesia telah maju selangkah dalam beraksara,
yaitu dari bangsa dengan suku-suku yang ekabahasa lalu menjadikan mereka
berdwibahasa atau bermultibahasa dalam gerakan perjuangan bangsa Indonesia. Itu
juga berarti suku-suku yang selama ini berkiprah hidup hanya dengan bahasa
daerah (baca lokal) baru dapat maksimal mencapai gerak perjuangan yang lebih
tinggi ke tingkat nasional dengan menguasai bahasa Indonesia atau dengan kata
lain mereka yang ekabahasa lokal saja tidak akan mampu bicara ke tingkat
nasional tanpa menguasai bahasa Indonesia. Arti yang demikian itu, juga
melahirkan generalisasi yang berkaitan dengan multibahasa bahwa
orang-orang yang dwibahasawan atau multibahasa lebih memperoleh keuntungan
dengan keadaan mereka menguasai beberapa bahasa dibandingkan dengan orang yang
hanya ekabahasa di Indonesia.
Dampak
positif lebih besar dan lebih menentukan dari kiprah orang yang multibahasa itu
dapat dicermati pada kegiatan bagaimana pelopor-pelopor perjuangan
kemerdekaan (Soekarno, M Hatta, M Yamin, dst.) itu menyerap seluruh informasi
dari berbagai sumber dan merumuskan serta menyampaikannya kepada rakyat. Mereka
pada umumnya adalah orang-orang yang telah tercerahkan dengan keadaan
multibahasa yang rata-rata menguasai lebih dari dua bahasa. Keadaan yang
demikian tentu bertolak belakang dengan penguasaan bahasa rakyat yang
dipimpinnya yang hanya mengusai bahasa lokal dan bahasa Indonesia saja. Dengan
menguasai tidak hanya satu-dua bahasa asing dan bahkan lebih multibahasa,
para pemimpin itu, telah membawa anugerah baru berupa ide dan dan pengejawantahan
kemerdekaan dan mereka dengan berbagai bahasa itu mampu
berkomunikasi dan berinteraksi dengan pendukung-pendukung perjuangan itu dari
seluruh dunia dan daerah dengan bahasa yang berbeda-berbeda. Kenyataan
ini adalah anugerah yang belum terwariskan secara eksplisitkan, yaitu “kalau
mau maju dan mengglobal maka kita harus menaiki alat pembawa kamajuan itu,
yaitu multibahasa atau multilingual”.
Uraian
di atas sengaja dipaparkan sebagai landasan berpijak bahwa
multilingual itu penting bagi kebangkitan bangsa dalam segala
bidang. Dari wacana awal kemerdekaan dan perkembangan selanjutnya, disadari
bahwa orang yang multilingual pada awal berotonominya bangsa Indonesia
dan sampai saat ini, mereka yang multilingual lebih merespon perkembangan
informasi dan dapat menentukan sikap yang lebih komprehensif terhadap
perjuangan bangsa ke depan dan mereka lebih memberikan kontribusi untuk
pencerahan bangsa kita. Jika kenyataan seperti itu dihibungkan dengan teori
sosio kebahasaan, hal itu merupakan suatu yang relevan dengan apa
yang dibahas para pakar (dalam kajian sosiolinguistik) bahwa multibahasa
telah membawa pencerahan dalam berbagai bidang seperti dalam perdagangan,
pendidikan, keagamaan, politik dan dalam ilmu serta teknologi. Semuanya itu
juga berlaku bagi bangsa Indonesia.
Begitu
penting dan besarnya dampak positif multilingual itu, maka perlu kiranya
pembelajaran bahasa ke depan direvitalisasi dalam kerangka multilingual.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagaimana kita seharusnya
menyikapi multibahasa dan pembelajaran bahasa, agar pembelajaran bahasa dapat
memenuhi kebutuhan siswa dalam berbagai keperluan hidup dan kehidupannya
yang dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Dalam
tulisan ini, pemakaian terminologi multibahasa dan multilingual dirujuk sebagai
suatu yang sama, yaitu keadaan dimana individu atau masyarakat mampu mngunakan
lebih dari satu atau dua bahasa. Untuk itu, penulis ini dalam tulisan
tidak membedakan penggunaan dua kata itu dan penyebutannya bisa bersilih ganti.
Selanjutnya, penulis menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
multilingual (sepikiran dengan Chaer, 2007) karena selain menggunakan bahasa
Indonesia mereka juga menggunakan bahasa daerah yang ratusan jumlahnya.
Dalam pengembangan bahasa ke masa depan mereka tentu memerlukan
pencerahan dan perhatian bagaimana kedaan multilingual itu dipolakan
dalam pembelajaran dan pendidikan sehingga membawa keuntungan dalam kehidupan.
Pembahasan
Sejalan
dengan judul tulisan ini yang menonjolkan perlunya kebangkitan bangsa dan
kaitannya dengan pembelajaran bahasa multilingual, maka yang pertama, perlu
dibahas syarat kebangkitan bangsa terutama yang berkaitan dengan penguasaan
bahasa. Pengusaan berbagai bahasa oleh individu atau sekelompok masyarakat
perlu karena peningkatan sumber daya manusia dan kualitas aktivitasnya di
pentas global tidak bisa lepas dari peranan multibahasa. Sedangkan sumber
daya manusia kita, seperti dikatakan (Latif, 2009:141), bahwa meskipun
jumlah pemuda kita banyak namun kapasitas daya saing mereka dalam kompetisi
global masih lemah dan kalau mau maju aspek peningkatan SDM adalah hal
prioritas untuk dilaksanakan termasuk mengembangkan kapasitas kemultibahasaan
nagsa sehingga menjadi pesain global yang bijaksana.
Syarat
Kebangkitan Bangsa
Latif
(2009) menyatakan ada tiga hal dalam transformasi kebudayaan yang menjadi
prasyarat kebangkitan, yaitu dimensi mitos, logos, dan etos.
Peursen (1988) menjelaskan bahwa ketiga dimensi budaya itu merupakan alam
pikiran yang mempengaruhi kebangkitan suatu masyarakat. Menurut penulis ketiga
dimensi budaya yang dikemukakan itu kualitas dan kapasitasnya pada seseorang
berkaitan erat dengan peran bahasa dari beberapa yang bahasa yang bisa
diaktualkannya. Semakin beragam bahasa yang dikuasai maka semakin dimungkin
seorang penutur memberikan pengejawantahan dimensi mitos, logos, dan etos
yang maksimal dan kreatif mengembangkannya.
Pada
aspek mitos sudah seharusnya bangsa ini menjaring mitos dari berbagai bahasa
yang secara kualitas menimbulkan efek pembangkit daya saing hidup yang lebih
berguna. Ketika bangsa Indonesia masih berkomunikasi, berinteraksi, dan
berpikir dengan bahasa lokal dan belum mempunyai bahasa nasional sebagai
media budaya, mitos yang yang hidup dalam masayarakat hanyalah kepercayaan yang
bersumber pada khasanah tradisi lokal semata. Di sadari mitos yang terkode
dalam bahasa lokal (daerah) meski banyak yang baik tetapi yang menonjol
hanyalah yang klenik, tragis, licik, dan horor. Sebagai contoh, mitos kancil
yang cerdik yang dapat mengalahkan buaya dan harimau, yang hidup dalam budaya
lokal diapresiasi oleh sebagian orang supaya hidup disikapi dengan
tipuan-tipuan, kelicikan, dan berbagai keculasan. Dorongan mitos itu
memunculkan interpretasi bahwa orang-orang bawahan bisa saja mengelabui
dan mesti menculasi pihak atasan meskipun itu tidak benar secara
logika.
Di
samping itu masih ada mitos budaya yang hidup dalam berbagai bahasa
daerah yang dominan dipakai sehari-hari tidak mengarah pada pecerahan aspek
ideal yang batiniah, malah terperangkap pada irasionalitas dan ketakutan semu
yang sebenarnya merupakan akibat dari tipuan keyakinan. Mitos yang
demikian telah mengiring pada keyakinan yang melemahkan produktivitas berpikir
kritis dan mengikis kepercayaan yang benar pada aspek religi. Dan yqang
lbih tragis mitos itu dapat pula melemahkan gerak aktivitas seseorang. Oleh
karena itu, bila masyarakat menjalani hidup hanya dengan bahasa dan budaya
daerah saja sebagai pendukung aktivitas hidupnya, maka paham mitis yang
merugikan itu menjadi penghalang kemajuan dan akibatnya kita belum dapat
membuat gerakan yang berkontribusi positif dalam kebangkitan
bangsa.
Fenomena
mitis yang demikian tentu berbeda setelah bahasa Indonesia eksis dalam
kehidupan masyarakat dan berkembang dalam beberapa periode sehingga
apresiasi dan kreasi terhadap budaya mistis lebih berkembang meninggal dunia
spkulatif itu. Kita telah melihat berbagai kemajuan dalam bahasa, sastra, seni
meskipun sosok keyakinan mistik dan klenik tampaknya tidak lepas dari budaya
kita seperti budaya mitis sineas yang muncul lebih mengenal berbagai
nama-nama hantu, benda keramat, dan sakti-saktian.
Ke
depan kita membutuhkan pencerahan mitis yang memberikan pengayoman pada
kehidupan yang serba multi, dengan penggunaan multibahasa yang berpihak kepada
keadilan dan kebersamaan. Sebagai bangsa yang multilingual, multikultural, dan
multispritual maka mitos-mitos yang ada perlu diarahkan agar
mitos-mitosnya memberikan tuntunan berlandaskan pencerahan religi yang
juga tidak bisa terpisah dari pencerahan bahasa sumber agama, yaitu
bahasa kitab suci.
Pada
dimensi logos perlu diaktualkan bahwa pendidikan multilingual adalah sarana
pencerahan pengetahuan dan pemahaman yang diperlukan dalam pembentukan
kesetaraan dan kesempatan interaksi dengan berbagai bahasa. Multilingual
merupakan sarana yang perlu diciptakan demi keberlangsungan penguasaan logos
sehingga menjadi bangsawan pemikiran lokal yang mengglobal dan lepas dari
hegemoni kapitalis yang cenderung mengerdilkan pihak yang dikelolanya.
Dalam literasi berbahasa Indonesia yang berkembang sebagai implikasi
dimensi logos, teks-teks logos atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ada lebih didominasi oleh karya berupa transliterasi dari referensi
asing yang jumlahnya terbatas. Hal itu seakan menunjukkan bahwa usaha kita
mewujud produk logos masih lemah sehingga tidak ada referensi bahasa Indonesia
yang tersedia yang memadai bagi pembelajar pada berbagai jenjang pendidikan. Di
sisi lain, pembelajar juga lemah dalam berbahasa asing dan gagal mengambil
pesan logos dari teks asing. Dalam hal ini, amat pentinglah multilingual
dieksiskan supaya aktivitas dalam pencerapan dan pengembangan dimensi
logos berjalan dengan lancar. Meningkatkan kapasitas kemampuan logos
merupakan persyaratan pencerahan nagsa ke masa depan.
Selain
itu, pada dimensi etos bangsa Indonesia harus mempunyai arah hidup
supaya tidak menjadi bangsa yang arah hidupnya tidak dalam. Kita perlu
membangun karakter dan itu dibangun dengan kesungguhan dalam mempertahan arah
dan tujuan hidup. Semua harapan kebangkitan itu, bisa dicapai dengan meluaskan
wawasan dan pemikiran dengan peran multilingual. Manusia yang terbatas
berbahasa lokal dan nasional hanya berkiprah sebatas dalam negara
dan tidak bisa melapaui batas teritorial Indonesia. Tantangan even
international sering tidak teriringi bangsa kita hanya karena
keterbatasan pengusaan bahasa asing. Dalam keadaan yang demikian kerja
dan karya yang dihasilkan amat terbatas dan wawasan yang dijadikan pengayoman
dan pengembangan tidak mendunia. Sebagai contoh, seorang bupati yang
multilingual tentulah dapat memperluas wawasannya dengan berbagai
informasi yang disajikan teknologi informasi dunia dibandingkan bupati yang
hanya berbahasa nasional.
Menyadari
perlunya dimensi mitos, logos, dan etos dalam kiprah kebangkitan bangsa maka
pembentukan multilingual yang aktif merupakan suatu tuntutan yang perlu dijawab
secepatnya agar kader-kader muda bangsa kita tidak hanya seperti terkurung
dalam sangkar budaya nasional tetapi hendaknya bisa terbang jauh membawa pesan
lokal ke dunia global dan memuliakan kemanusiaan manusia.
Substansi
Multilingual
Multilingual adalah kemampuan untuk bisa dan biasa menggunakan bahasa lebih
dari dua bahasa (Sumarsono dkk. 2002) sedangkan multilingualisme merupakan
gejala pada seseorang atau masyarakat yang ditadai oleh kemampuan atau
kebiasaan memakai lebih dari satu bahasa (Kridalaksana, 2008). Istilah
multilingual juga berkaitan dengan monolingual, yaitu orang yang hanya
menguasai satu bahasa dan bilingual, yaitu orang menguasai dua bahasa,
yang secara teoretis merupakan akaibat dari adanya kontak bahasa (Chaer,
2007).
Multilingual merupakan hasil dari kontak bahasa pada masyarakat yang terbuka
menerima kedatangan masyarakat lain sehingga mereka melakukan alih kode dalam
berbahasa. Kemampuan itu biasanya juga terjadi karena masyarakat yang mempunyai
beberapa bahasa membentuk masyarakat baru sehingga terbentuk masyarakat mejemuk
dengan multibahasa. Secara umum ada beberapa penyebab terjadinya multibahasa di
antara faktor migrasi, yaitu perpindahan penduduk yang meluas sehingga
berbaur dengan kelompok lainnya. Kedua, dalam proses penjajahan yaitu
terjadinya kontrol bangsa yang satu kepada suku lainnya dengan
menggunakan bahasa mereka. Ketiga, federasi dan keempat pengaruh
wilayah perbatasan.
Dalam
masyarakat multilingual yang gerak mobilitasnya tinggi, anggota masyarakatnya
akan cenderung menggunakan lebih dari dua bahasa dalam kehidupannya, baik
sepenuhnya maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhannya. Di seluruh dunia
komunitas yang memakai satu bahasa hanya sekitar tiga belas persen.
Selebihnya, paling tidak menggunakan dua bahasa. Bangsa Indonesia tidak
termasuk dalam kategori tersebut karena bangsa Indonesia pada umumnya
menguasai dua bahasa, yaitu bahasa-bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Anak-anak Indonesia yang sudah mengecap pendidikan sudah bisa disebut
sebagai multilingual karena mereka sudah menggunakan beberapa bahasa secara
sebagian atau keseluruhan. Kefasihan berbahasa secara multilingual amat
tergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan berbagai bahasa dalam
kehidupan. Semakin banyak kesempatan maka kefasihan dalam berbagai
bahasa akan terbentuk dengan baik.
Selanjutnya, fenomena keberagaman penggunaan bahasa saat ini adalah isu penting
yang berkembang ke permukaan karena dengan adanya multilingual akan
menentukan kelangsungan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Dengan
sumber daya yang multi bahasa maka peran dalam berbagai bidang lebih mudah
untuk diambil dalam berbagai bidang kehidupan.
Pendidikan
Multilingual
Beberapa
Negara Eropa seperti Belanda, Denmark, dan Swedia menerapkan pendidikan multi
lingual semenjak sekolah menengah, bahasa asing yang menjadi pilihan adalah
bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Selain itu, Singapura, Malaysia, dan Brunei
serta Philipina jauh sebelumnya (1960-an) telah menjadikan bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua dalam Negara mereka. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau mereka lebih maju dalam mengakses informasi global untuk
kemajuan Negara mereka dibandingkan Indonesia. Negara berbahasa Inggris telah
melingkungi Negara Indonesia dan Indonesia sudah seharusnya berpendidikan
multilingual dengan bahasa Indonesia dan bahas Inggris. Sekarang di Indonesia
sekolah multilingual baru dimulai dibuka, ada TK, SD, SMP, dan SMA multilingual
yang lebih dikenal dengan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) namun
itu semua kelihatan seperti uji coba saja.
Bijaknya,
Indonesia hendaknya harus serius untuk membina sekolah multilingual karena
berbagai kepentingan bangsa ini amat terkait dengan berbagai aktivitas
berbahasa international. Bagi muslim mereka amat membutuhkan mengerti bahasa
Arab karena mereka membaca kitab suci berbahasa Arab dan beribadah rutin
(shalat) dengan bahasa Arab. Selanjutnya, dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan
iptek para pembelajar tidak bisa terlepas dari bahasa Inggris karena
bagaimanapun referensi yang ditawarkan dosen atau pengajar masih banyak dalam
bahasa Inggris. Dalam perdagangan kita sebenarnya amat membutuhkan bahasa
China karena bangsa China banyak berkiprah dalam bidang ekonomi dan
perdagangan. Sebaliknya, anak kita yang hidup di kota tidak lagi mengenal
bahasa daerah karena mereka berbahasa I bahasa Indonesia, dan tentu mereka
perlu mengerti bahasa daerah untuk dapat menghayati budaya daerah mereka.
Pentingnya multilingual juga terkait dengan hasil penelitian yang menunjukkan
efek positif pada anak. Berbagai hasil penelitian seperti yang dinyatakan Hoff
(2005) menunjukkan bahwa jika anak-anak yang diajarkan secara benar untuk
belajar multibahasa pada usia dini secara keseluruhan dapat memacu
perkembangan anak. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang belajar
multibahasa sejak usia dini biasanya lebih sukses dalam kehidupannya karena
sudah terbiasa berhubungan dengan bermacam-macam bahasa dan bahasa-bahasa itu
menjadi media komunikasi saat anak menjadi dewasa dan memasuki dunia
kerja. Kompas.com melaporkan bahwa manfaat belajar bahasa kedua pada usia dini
meliputi segala sesuatu dari meningkatnya kemampuan kreativitas dan anak
memiliki pemahaman yang lebih luas tentang budaya.
Hal
itu merupakan dasar motivasi untuk belajar berbagai bahasa. Di samping itu,
bahasa asing merupakan investasi serta bekal masa depan anak untuk karirnya.
Hal itu juga menjadikan banyak orang tua yang mengenalkan bahasa asing sejak
dini. Dengan harapan anak dapat bersaing di pasar global dan dapat mengisi
lapangan pekerjaan nantinya.
Metode Pembelajaran Multilingual
Metode
immersi, banyak diadopsi dalam proses pengajaran multibahasa. Metode ini
tidak mementingkan tata bahasa, tetapi cara pengertiannya dalam konteks.
Kalimat yang diajarkan dihubungkan dengan perbuatan. Apa yang dituturkan oleh
guru dihubungkan dengan gerakan, mimik, maupun bahasa badan yang menunjang
tanpa penekanan dalam tata bahasa maupun kosa kata. Cara pengajarannya menggunakan
contoh, misalnya dibuatkan bentuk pesawat dari kertas untuk mengenalkan pesawat
dalam bahasa yang diajarkan. Hal ini merupakan inti dari metode immersi. Dengan
metode ini, anak berlatih bahasa asing tanpa harus menerjemahkan apa yang
mereka dengar dan ucapkan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya
mengenalkan musik, tarian, atau makanan dari negeri asal bahasa yang
dipelajarinya, juga menyediakan buku-buku, video, atau bahan lain dalam bahasa
asing. Bahkan jika memungkinkan, guru dan orang tua bisa mendorong anak untuk
menjalin sahabat pena dengan anak-anak dari negeri asal bahasa yang
dipelajarinya.
Di
sekolah guru menggunakan bahasa yang dikuasai untuk berbicara dengan anak.
Disarankan agar tidak memakai bahasa yang bercampur-campur saat berbicara
dengan anak. Misalnya guru A memakai bahasa Indonesia, guru B bahasa Inggris,
guru C bahasa daerah tidak menjadi masalah, asal tidak dicampur-campur sehingga
anak bisa paham satu per satu bahasa. Dalam mempelajari bahasa, anak-anak
memahaminya dalam konteks secara keseluruhan dan kadang-kadang tanpa mengerti
kosa kata yang digunakan secara detail. Secara intuitif anak belajar mengerti
bahasa yang mereka dengar dengan benar sesuai perkembangannya. Prosesnya sama
dengan mereka belajar bahasa ibu, yaitu tanpa mengajarkan tata bahasa, kosa
kata, dan sebagainya.
Selain
itu, di rumah gunakan kiat-kiat berikut ini: 1. Untuk membesarkan
anak multilingual, penting bahwa kedua orang tua benar-benar berkomitmen untuk
ide ini. 2. Setelah kedua orang tua berkomitmen dan sepenuhnya memahami
manfaat yang terkait dengan membesarkan anak dengan kemampuan multilingual,
Anda akan perlu untuk memilih metode yang paling sesuai dengan Anda dan
keluarga. Pastikan Anda membuat rencana yang masuk akal. Ada dua metode yang paling
populer dan paling efektif yakni OPOL (One Parent One Language). 3.
Dekatkan anak Anda dengan anggota keluarga yang berbicara bahasa asing tersebut
secara fasih. Buat jadwal anak menghabiskan waktu dengannya. Jika Anda
memiliki dana lebih, memberikan les juga bisa jadi pilihan.
Penutup
Fenomena keberagaman penggunaan bahasa saat ini adalah isu penting yang
berkembang ke permukaan karena dengan adanya multilingual akan menentukan
kelangsungan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Dengan sumber daya yang
multi bahasa maka peran dalam berbagai bidang lebih mudah untuk diambil dalam
berbagai bidang kehidupan. Bijaknya, Indonesia hendaknya harus serius
untuk membina sekolah multilingual karena berbagai kepentingan bangsa ini amat
terkait dengan berbagai aktivitas berbahasa international. Ada empat bahasa
yang disarankan, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa Inggris sebgai
bahasa iptek dan komunikasi global, bahasa China untuk berkiprah dalam
bidang ekonomi dan perdagangan, bahasa daerah karena mereka berbahasa I bahasa
Indonesia, dan tentu mereka perlu mengerti bahasa daerah untuk dapat
menghayati budaya daerah mereka. Selanjutnya metode yang dianjurkan adalah
metode immerse.
http://abdurahman-padang.blogspot.com/2012/10/revitalisasi-pembelajaran-bahasa.html
No comments:
Post a Comment