Wednesday, December 13, 2017

KETRAMPILAN SOSIAL ANAK AUD

KETRAMPILAN SOSIAL ANAK AUD

1. Pengertian Ketrampilan Sosial
Yanti (2005) mendefinisikan ketrampilan sosial adalah kemampuan anak mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi sosial yang efekif dengan orang lain dan lingkungan. Pendapat hampir sama dikemukakan oleh Combs dan Slaby (dikutip Yanti, 2005) bahwa ketrampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan caracara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling menguntungkan. Ketrampilan sosial menurut Libert dan Lewinson (dikutip Yanti, 2005) adalah suatu kemampuan yang kompleks untuk melakukan perbuatan yang akan diterima dan menghindari perilaku yang akan ditolak oleh lingkungan. Sedangkan Cavell (dikutip Yanti, 2005) menyatakan bahwa ketrampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial dan hal tersebut terdiri dari tiga konstrak yaitu penyesuaian sosial, performansi sosial dan ketrampilan sosial. Goddard (2005) mendefinisikan ketrampilan sosial adalah kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang dewasa, membuat pertemanan dan perilaku yang ditunjukkan dalam berbagai situasi sosial yang berbeda. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling menguntungkan atau menguntungkan orang lain.




KARAKTERISTIK KETERAMPILAN SOSIAL SERTA FAKTORFAKTOR YANG  MEMPENGARUHINYA

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketrampilan Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial menurut Bloom (1990) adalah :
a.       Faktor personal yang meliputi perubahan fisik badan, perkembangan struktur kognitif, perkembangan struktur afektif, perubahan perilaku kebiasaan
b.      Faktor interpersonal yang meliputi perubahan relasi dalam keluarga, perubahan relasi dalam teman sebaya.
c.       Relasi sosial yang meliputi suku, jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, agama, prasangka.
d.      Perubahan interbudaya antara lain perubahan permainan (permainan tradisional menjadi permainan modern).
Menurut Yanti (2005) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah :
a.       Kondisi anak : temperamen anak, regulasi emosi, kemampuan sosial kognitif
b.      Interaksi anak dengan lingkungan (orangtua dan teman sebaya), seperti melakukan permainan dengan teman sebaya atau orang lain.
Menurut Goddard (2005) faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial adalah bermain bersama teman sebaya. Bermain menyebabkan anak berinteraksi dengan orang lain, belajar menerima dan berbagi, serta mengajarkan untuk mengeskpresikan diri sesuai dengan tuntutan sosial. Darwish, dkk (2001, h.13) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial anak adalah bermain. Pendapat senada dikemukakan oleh Macquarie (2005) bahwa ketrampilan sosial pada anak dapat dikembangkan lewat bermain bersama anak-anak lain. Bermain membuat anak belajar secara langsung dan dalam suasana yang menyenangkan mengenai interaksi dengan orang lain sehingga membuat mereka mendapatkan pengalaman positif yang berkaitan dengan interaksi sosial. Lebih lanjut, pengalaman yang diperoleh lewat permainan akan membuat anak lebih tahu mengenai cara berinteraksi, cara memelihara pertemanan dalam jangka waktu panjang, cara mengembangkan strategi bergaul yang bijaksana, menerima orang lain, mengenal nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, dan cara memecahkan masalah. Pendapat Dalrymple (2004) semakin menegaskan bahwa cara yang efektif untuk mengembangkan ketrampilan sosial anak adalah melalui bermain.
BAHAN KAJIAN IPS DAN SEJARAH PADA AUD

Sejarah lahirnya IPS di Indonesia
Periode Penjajahan Belanda

Pendidikan anak usia dini atau prasekolah sebenarnya bukan barang baru dan telah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam masa penjajahan Belanda misalnya terdapat Froebelschool, yaitu sekolah yang menggunakan system Froebel bagi anak Belanda, China, dan anak-anak kaum ningrat yang bekerja dengan pemerintah Belanda. Berselang beberapa lama, kemudian muncul sekolah bagi anak usia dini yang menggunakan system Montessori (Montessorischool). Selanjutnya, pada tahun 1922 lahir taman Indria yang didirikan oleh taman siswa di Yogyakarta, yang merupakan produk awal bangsa Indoensia. Dalam tulisan Ki Hajar Dewantara (1940) sekolah untuk anak berusia dibawah tujuh tahun selain ketiga nama itu dikenal pula nama Kindergarten, Kleuterschool, Bewaarschool, dan Voorklas. 

Sekolah Froebel (froebelschool) berasal dari Friedrich Froebel (1782-1852), seorang tokoh penggagas dan sekaligus bapak Kindergarten dunia yang berasal dari Jerman. Konsep Froebel merupakan terobosan baru dalam pendidikan anak usia dini setelah Pestalozzi dan awalnya terkenal di Eropa kemudia merambah ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Froebel sendiri sebenarnya tidak menyukai istilah “school”, tetapi gerten (taman dalam bahasa Jerman). Ada perbedaan dalam penggunaan istilah itu, “taman” lebih mengarah ke sebuah tempat yang menyenangkan, menarik, bebas bergerak, tempat bermain; sedangkan “sekolah” cenderung kepada sebuah tempat pendidikan dengan setumpuk peraturan ketat yang harus diikuti dan semata-mata berorientasi penguasaan akademik. 

Pada zaman penjajahan Belanda, selain lebih bernuansa kepada kepentingan colonial, Froebelschool bagi kaum ibu hanya bertujuan agar anak-anak mereka pandai membaca, menulis, berhitung, dan bahasa Belanda; padahal tujuan pendidikan Froebel tidak mengajarkan anak baca, tulis, hitung. Sampai sekarang ini tak heran masih banyak iibu-ibu yang hanya mengharapkan anakanaknya bisa berhitung ketika masuk taman kanak-kanak. 

Sekolah Montessori berasal dari nama tokoh maria Montessori (1870-1952), mulai dikenal di Indonesia sekitar tahhun 1940-an, beliau bahkan sempat ingin datang pada tahun 1941 ke Indonesia, tetapi batal karena masa peperangan dan dianggap membahayakan pemerintahan Belanda. Gagasan Montessori tentang hidup bebas dan merdeka mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pendidikan Indonesia waktu itu karena memperjuangkan roh kemerdekaaan dan hal itu sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang menginginkan hidup bebas dan merdeka. 

Periode Taman Siswa 

Pada 3 Juli tahun 1922 berdiri perguruan  nasional Taman Siswa oleh putra Indoensia Ki Hajar Dewantara. Pada awalnya perguruan nasional itu membuka “Taman Lare” atau “Taman Anak” atau dikenal pula “Sekolah Froebel Nasional” atau “Kindertuin”, untuk anak dibawah usia 7 tahun. Dalam perkembangannya “Taman Anak” kemudian berubah menjadi “Taman Indria”. Penggunaan nama Taman Indria, berdasarkan konsep Froebel dan Montessori yang menganggap jiwa anak dibawah usia 7 tahun berada dalam periode perkembangan panca indranya. Ki Hajar Dewantara mengakui bahwa Taman Indria merupakan gabungan dari dua system pendidikan, yaitu Froebel dan Montessori, walaupun ada perbedaan terutaa disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia sebagai orang timur. 

            Taman siswa boleh dibilang memakai kedua-duanya sebagai terkandung dalam sifat pendidikan Montessori dan Froebel itu, akan tetapi pelajaran panca indra dan permainan anak itu tidak terpisah, yaitu dianggap satu, sebab ddalam Taman Indria hiduplah kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala keadaa hidupnya anak-anak itu sudah dihiasi oleh Sang Maha Among segala alat yang bersifat mendidik si Anak (Ki Hajar Dewantara, 1977;242).

Periode Penjajahan Jepang dan Awal Kemerdekaan
 
Masuknya Jepang sebagai penjajah bangsa Indonesia pada tahun 1942 ternyata membawa perubahan terhadap perkembangan pendidikan anak usia dini, yang tadinya bercorak Belanda berubah ke corak Jepang. Jepang berussaha memasukkan idealisme ke dalam jiwa anak-anak Indonesia. Sekolah pra sekolah seperti Froebelschool tetap ada akan tetapi berganti nama taman kanak-kanak (kindergarten). Materi belajar anak termasuk permainan, nyanyian, cerita diganti dengan nyanyian dan cerita-cerita bangsa Jepang. 

Memasuki gerbang kemerdekaan tahun 1945, kesadaran bangsa Indonesia mulai tumbuh. Para tokoh pendidikan ketika itu seperti Ki hajar Dewantara dan Ali Sastroamidjaja (mantan mentri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan waktu itu) menyadari bahwa pendidikan nasional harus bercorak nasional sesuai kebudayaan bangsa Indonesia; bukan Belanda, Amerika, atau Jepang. Indonesia memiliki keluhuran budaya yang tinggi, kaya akan aneka permainan, nyanyian, cerita-cerita rakyat. Akan tetapi karena baru merdeka, disusul agresi Belanda dan pemberontakan dalam negeri, nasib pendidikan nasional belum berubah; bahkan pada tahun 1950, mengalami krisis pendidikan. Sebagian penduduka buta huruf. Indonesia tidak punya guru, kekurangan fasilitas belajar, dan perhatian pemerintah masih difokuskan kepada agresi dan pemberontakan dalam negeri, sehingga sebagian besar anak Indonesia dari Sabrang sampai Merauke tidak sekolah.

Pada tahun awal kemerdekaan tahun 1950-an, karena pemerintah lebih focus  terhadap upaya mempertahankan kemerdekaan dan keamanan Negara; sektor pendidikan masih terabaikan dan pendidikan bagi anak usia dini belum tergarap. Pada waktu itu, kondisi pendidikan di Indonesia pada kondisi kritis. Akan tetapi para tokoh wanita Indonesia bersama-sama masyarakat tidak tinggal diam, dengan berbagai usaha meraka mengatasi krisis pendidikan melaui perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi wanita. Salah satu organisasi yang paling terkenal dan berpengarus sampai keluar pulau Jawa tetapi jarang dipublikasikan adalah usaha yang dilakukan Yayasan Bersekolah pada Ibu (Yayasan Beribu. Sebagaimana tulisan Solehuddin (1997, 2000):


“….diantara organisasi-organisasi tersebut, yang terbesar dan paling berpengaruh saat itu adalah Yayasan Bersekolah pada Ibu (Yayasan Beribu), dengan mulai menyelenggarakan pendidikannya di Bandung tahun 1951, pengaruh dari yayasan ini meluas hingga keluar pulau Jawa:”

Pada saat kondisi krisis ini, Yayasan Bersekolah pada Ibu sebagai pembawa obor penerang pendidikan di Indonesia. Yayasan ini besar dan sangat berpengaruh karena didirikan oleh hampir seluruh organisasi atau perkumpulan para tokoh wanita di Indonesia kala itu. Dalam arsip sejarah, tertulis paling tidak ada 12 organisasi wanita yang bersepakat mendirikan Yayasan Beribu, yaitu Perkiwa Pusat, Budi Istri Pusat, Budi Istri cabang Bandung, Muslimat, Rukun Wanita Cilentah, Perwari cabang Bandung, Persatuan Wanita Cicendo, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Persatuan Putri Indonesia, Bank Cooperatie Wanita Indonesia, Women’s International Club. Dapat dikatakan lahirnya yayasan bersekolah pada Ibu merupakan persatuan ide kekuatan untuk memperjuangkan pendidikan Indonesia yang sangat terpuruk. 

Dari seluruh tokoh wanita tersebut, akhirnya terpilih tiga tokoh utama priangan yang memimpin lembaga ini. yaitu, Ny. Emma Poeradireja, Ny. Mary E. Saleh, dan Ny. Emma Soemanegara.
Yayasan Beribu telah menorehkan sejarah dalam pendidikan usia dini di Indonesia. Yayasan inilah yang menggagas lahirnya konsep” system pusat minat/system unit yang dulu sangat terkenal”, “Ibu rumah tangga jadi guru TK”, “sekolah garasi”, alat permainan edukatif, hingga parent cooperative. Parent cooperative bahkan diajarkan kepada tokoh wanita Thailand oleh tokoh Yayasan Beribu atas undangan raja Thailand pada tahun  1972. 

Selain terkenal dengan konsep pendidikan taman kanak-kanak dengan system pusat minat, sekolah garasi, dan alat permainan edukatif-nya; Yayasan Beribu merupakan salah satu lembaga tertua di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan untuk guru taman kanak-kanak berupa kursus (KPGTK) yang dimulai pada 8 Juni 1981. Pendidikan KPGTK dengan lama pendidikan satu tahun saat itu didasarkan kepada sulitnya mencari huru TK/PAUD yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengajar sesuai perkembangan anak, lagi pula jarang ada wanita yang mau jadi guru TK.

Keberhasilan Yayasan Beribu mengembangkan sebuah pengajaran yang khas, yang diberi nama system pusat minat bagi anak usia dini mendapat respons positif dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Priyono ketika mengunjungi TK yang menggunakan system Yayasan Beribu pada 16 Agustus 1962. Pada 12 Desember 1962 Sistem Pusat Minat Yayasan Beribu mendapat pengakuan resmi dari Kementerian Pendidika dan kebudayan Pusat Jakarta; pada tanggal 12 Maret 1963, Sistem Pusat Minat yang dikembangkan oleh Yayasan Beribu dijadikan pilot projek nasional oleh Departemen pendidikan dan kebudayaan (PDK). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Jakarta juga mengakui dan menganjurkan agar seluruh SGTK negeri mempelajari system pusat minat yang dikembangkan oleh Yayasan Beribu.
 

Perhatian dunia internasional terhadap perjuangan Yayasan Beribu ditunjukkan dengan diikutsertakannya dalam berbagai konferensi internasional, seperti International Conference on the Family, di India, 1967; pertemuan pemimpin wanita Asia di New York, 1958; pertemuan dengan Direktur Organisasi Internasional untuk kesehatan , pendidikan, dan kesejahteraan, New York, 1953; Workshop di Filipina (1953). Disamping kunjungan dari beberapa badan dunia untuk mempelajari system pembelajaran anak usia dini Yayasan Beribu dilakukan oleh UNESCO (1960); Director of Associated Country Women of the Word (ACWW) (1961); UNICEF, 1962, 1969, 1971; Canadian Brodcasting Corporation (1964); ACCW South Asia (1071); Konrad Adenauer Stiftung dan Terre des Hommes, Jerman (1974, 1976). 

Disamping terkenal dengan system pusat minat, Yayasan Beribu juga dikenal sebagai :

  • Pemprakasa parent cooperative di Indonesia, tahun 1971. Bahkan Ibu Mary saleh adalah salah seorang penggagas parent cooperative di Thailand, sehingga mendapat penghargaan tinggi dari raja Thailand.
  • Pemprakasa berdirinya Taman Penitipan Anak (TPA), untuk pertama kalinya dibuka di jalan Cipaganti 107 dan diresmikan oleh ibu Mashudi, istri Gubernur Jawa Barat, tanggal 8 Januari 964.
  • Pengembang disain produksi dan pemasaran alat permainan edukatif (APE) pertama di Indonesia tahun 1961. Usaha ini melibatkan anak-anak putus sekolah dan sampai sekarang produksi APE Yayasan Beribu telah dikenal diseluruh wilayah Indonesia.
  • Penyelenggara pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan khusus sejak tahun 1991.

Periode Orde Baru/Taman Kanak-Kanak Alqur’an
Salah satu gerakan yang tak boleh diabaikan dalam sejarah perkembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia dan mendapat sambutan luas dan apresiasi dari masyarakat dilakukan oleh LPPTKA-BKPRMI (Badan Keluarga Pemuda Remaja Masjid Indonesia) yang pada awalnya berkembang pesat di Bandung, Jawa barat, sekitar tahun 1990-an. sebelumnya di Yogyakarta berkembang merode Iqro’, yaitu cara cepat belajar membaca Alqur’an untuk anak-anak usia dini. Lembaga tersebut memanfaatkan serambi masjid sebagai tempat menyelenggarakan taman kanak-kanak Alqur’an (TKA) dan Taman Pendidikan Alqur’an (TPA). Perkembangan gerakan ini termasuk sangat cepat sebab hampir di seluruh pelosok daerah terdapat masjid sebagai tempat ibadah, kemudia menyebar dan berkembang ke propinsi lain di seluruh Indonesia. Berdasarkan nomor unit yang dilekuarkan LPPTKA, di Jawa Barat saja pada tahun 1997 telah terdaftar 100-an TKA. 

Disamping memiliki kurikulum sendiri, LPPTKA juga menyiapkan bahan ajar khusus untuk anak didik dan para kader. Mereka juga secara periodic menyelenggarakan kepelatihan kepada remaja dan pemuda masjid untuk dididik menjadi guru TPA atau TKA. 

Gerakan ini mulai menurun justru sejak keluarnya gebrakan PAUD oleh pemerintah sekitar tahun 2003; namun demikian sampai saat ini perjuangan LPPTKA-BKPRMI sampai saat ini terus berlanjut. 

Periode lahirnya PAUD tahun 2003 sampai sekarang
PAUD tak lain untuk menjawab persoalan masih banyaknya anak usia dini yang belum mendapatkan layanan pendidikan; meskipun sudah ada taman kanak-kanak (TK). Keberadaan TK dan kelompok bermain (play group) selama ini dianggap belum mampu menampung anak usia dini yang seyogyanya memperoleh pendidikan. 

Sejak gerakan PAUD dicanangkan Presiden  pada 23 Juli 2003, secara kuantitas jumlah PAUD yang berdiri memang meningkat sangat drastis. Namun demikian banyak hal yang perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah, seperti kualitas guru, program belajar atau kurikulum, tata kelola, dan hubungan haarmonis dengan taman kanak-kanak yang sudah lebih dulu berkembang. 
Sampai dengan satu dasawarsa sejak dicanangkan Presiden tahun 2003, perkembangan PAUD terus mengalami perubahan dan peningkatan. Perubahan yang terasa adalah gencarnya upaya pengembangan PAUD yang saat ini berada di bawah Direktoral Jenderal (Ditjen PAUDNI), terutama upaya pemeratan lembaga PAUD untuk menjangkau anak usia dini hingga ke pelosok, pengembangan model PAUD berbasis budaya local, upaya pengembangan pembelajaran, peningkatan kualitas guru. Lahirnya permendiknas no. 16/2007 dan No. 58/2009 tentang standar pendidikan anak usia dini merupakan salah satu dasar hukum dalam pengembangan PAUD dan peningkatan kompetensi pendidik PAUD. Atas dasar Permendiknas itu kemudian diselenggarakan Diklaat berjenjang pendidik PAUD, tempat uji kompetensi, dan sebagainya.



KETRAMPILAN DASAR DAN KECERDASAN SOSIAL AUD

Daniel Goleman, dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence, menyampaikan bahwa ada empat keterampilan dasar yang mesti dikembangkan dalam kecerdasan sosial. Empat keterampilan dasar itu adalah mengorganisasi kelompok, merundingkan pemecahan masalah, menjalin hubungan, dan menganalisis sosial.
Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin mengangkat dua keterampilan dasar dalam kecerdasan sosial sebagaimana yang disampaikan oleh Daniel Goleman, namun penulis tidak serta-merta memindahkan tulisan Daniel Goleman ke dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis hanya menyampaikan gagasan dua keterampilan dasar tersebut, kemudian penulis membahasnya sendiri dalam ulasan sebagai berikut:

1. Mengorganisasi Kelompok
Ada sebuah pernyataan yang sangat luar biasa. Pernyataan tersebut, konon sebelumnya belum ada tokoh atau seorang pun di dunia ini yang menyampaikannya. Sebuah pernyataan yang menganggap bahwa setiap manusia, baik miskin atau kaya, punya status sosial atau hanya rakyat biasa, mempunyai jabatan formal atau hanya pekerja kasar, adalah sosok pemimpin.
Lebih lengkapnya, marilah kita simak apa yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam hadis berikut, "Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya." Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Setiap pribadi manusia adalah pemimpin. Bahkan, dalam hadis tersebut dinyatakan bahwa anak-anak pun dianggap sebagai pemimpin yang sudah mempunyai tanggung jawab, yakni bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. Dalam contoh yang lebih sederhana, misalnya seorang anak yang diberi uang saku oleh orangtuanya harus belajar untuk bertanggung jawab dalam mengelola uang sakunya. Apakah akan dibuat jajan semuanya, sebagian ditabung, diberikan kepada teman yang sedang membutuhkan, atau untuk membeli buku bacaan tambahan selain buku wajib di sekolah.
Di sinilah sesungguhnya penting bagi kita selaku orangtua untuk bisa mengembangkan keterampilan dasar dalam kecerdasan sosial bagi anak-anak kita. Terkait dengan pendapat Daniel Goleman adalah keterampilan dalam mengorganisasi kelompok. Mengapa? Karena setiap pribadi adalah pemimpin. Sebagai seorang pemimpin, sudah barang tentu dibutuhkan kemampuan dalam mengorganisasi, minimal dalam sebuah kelompok kecil di lingkungan sosialnya, atau paling tidak dalam lingkungan keluarganya.
Melatih anak-anak dalam keterampilan mengorganisasi kelompok bisa dilakukan dalam bentuk permainan tertentu dengan teman-temannya. Permainan ini bisa dilakukan di halaman rumah kita, di lapangan, atau di mana biasanya anak-anak bermain. Keterampilan ini bisa pula kita terapkan pada anak-anak agar dapat berbagi tugas dengan teman-temannya dalam sebuah acara. Misalnya, acara bakar sate tempe (tempe dipotong kecil-kecil, goreng setengah matang, kemudian ditusuk pakai tusuk sate, lalu dibakar di atas arang yang membara) yang sengaja kita rencanakan bersama anak-anak dan teman-temannya di sebuah hari libur sekolah. Acara ini sepenuhnya kita serahkan kepada anak-anak, termasuk masing-masing anak harus iuran berapa, berbagi tugas siapa yang belanja, menggoreng tempe, membuat bumbu sate, membakar sate tempe, dan sebagainya. Meskipun acara memasak, menurut pengalaman penulis, acara ini disukai tidak hanya bagi anak-anak perempuan, ternyata anak laki-laki pun suka dengan acara bersama semacam ini.
Orangtua dapat membuat permainan atau kegiatan yang lain. Acara bakar sate tempe sebagaimana di atas hanyalah sekadar contoh. Orangtua bisa merancang kegiatan dengan kreatif atau bisa mengajak anak-anak untuk merencanakan sebuah kegiatan bersama di sebuah hari libur. Satu hal yang paling penting, yakni orangtua mesti memberikan kepercayaan kepada anak-anak untuk bisa mengelola dan mengorganisasi kelompoknya sendiri. Hal yang dilakukan orangtua hanyalah menemani mereka. Meskipun hanya menemani, tidak ada salahnya juga bila di bagian-bagian tertentu orangtua memberikan ide dan saran. Namun, hal yang sama sekali harus dihindari oleh orangtua adalah mendominasi kegiatan tersebut. Ini sangat penting agar anak-anak kita mempunyai kemandirian dan bisa mengorganisasi kelompoknya dengan baik.

2. Merundingkan Pemecahan Masalah
Bila ada dua orang atau kelompok yang bersikukuh untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing yang paling benar maka dibutuhkan seorang mediator yang baik agar masalah dapat terselesaikan. Di sinilah sesungguhnya bagi setiap pribadi dibutuhkan sebuah kecerdasan sosial tersendiri. Dalam hal ini, kita bisa melatih anak-anak kita untuk bisa mempunyai nalar yang baik, menyampaikan gagasan dalam sebuah komunikasi yang baik, sehingga bisa melakukan sebuah perundingan dengan baik.
Kemampuan untuk bisa merundingkan pemecahan masalah dengan baik ini memang tidak muncul begitu saja dari pribadi seseorang. Namun, kemampuan itu adalah hasil dari latihan yang panjang-meskipun tidak disadarinya-dalam kehidupan seseorang. Namun, sebagai orangtua yang menginginkan agar anak-anak mempunyai kecerdasan sosial dengan baik, kita bisa melatih dan mengembangkan kemampuan ini. Misalnya, ketika kita melihat televisi bersama anak-anak dan ditayangkan sebuah berita tentang perkelahian dua kelompok masyarakat, kita selanjutnya bisa mengajak diskusi anak-anak kita mengenai soal tersebut. Kita kembangkan kecerdasan sosial anak kita dengan meminta pendapat kepadanya tentang apa yang akan dilakukan dan dikatakan anak kita seandainya diminta menyelesaikan masalah dua kelompok yang sedang berkelahi sebagaimana yang ditayangkan di televisi.
Anak-anak kita juga bisa belajar dari dunia permainannya bersama teman-temannya. Sebagaimana dalam permainan anak-anak, sudah barang tentu biasanya tidak terlepas dari berbantah-bantahan ketika terjadi masalah dalam permainannya. Hal yang semacam ini bisa dibilang wajar dalam dunia anak-anak. Namun, yang paling penting adalah bagaimana anak-anak kita menyelesaikan perbantahan tersebut. Bukan diselesaikan dengan cara fisik, artinya yang kuat maka akan memang; bukan pula dengan bentak-bentakan hingga akhirnya salah satu mengalah; atau bukan dengan tidak mau menyelesaikan masalah hingga permainan bubar dan lari ke rumah masing-masing dengan membawa rasa dendam di hati. Melainkan, kita ajak anak-anak untuk mencari akar masalah atau penyebab mengapa terjadi perselisihan untuk kemudian merundingkan dengan penyelesaian yang baik.



LINGKUNGAN SEKITAR SEBAGAI MEDIA DAN SUMBER BELAJAR IPS BAGI AUD

Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Untuk Anak Usia Dini
Peran guru sebagai fasilitator dalam pelaksanaan pendidikan untuk anak usia dini harus mampu memberikan kemudahan kepada anak untuk mempelajari berbagai hal yang terdapat dalam lingkungannya.
Seperti kita ketahui bahwa anak usia dini memiliki rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu serta memliki sikap berpetualang serta minat yang kuat untuk mengobservasi lingkungan. Ia memiliki sikap petualang yang kuat. Pengenalan terhadap lingkungan di sekitarnya merupakan pengalaman yang positif untuk mengmbangkan minat keilmuan anak usia dini.
Pada bab ini akan dikaji beberapa hal yang berkaitan dengan pentingnya pemanfaatan sumber belajar lingkungan untuk anak usia dini yang diawali dngan pembahasan mengenai pengertian lingkungan itu sendiri, dilanjutkan dengan penjelasan tentang nilai-nilai lingkungan, jenis lingkungan, teknik menggunakan lingkungan dan prosedur pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar untuk anak usia dini.

1.      Pengertian Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
Sebagai makhluk hidup, anak selain berinteraksi dengan orang atau manusia lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan benda-benda mati. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan, sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah. Manusia merupakan salah satu anggota di dalam lingkungan hidup yang berperan penting dalam kelangsungan jalinan hubungan yang terdapat dalam sistem tersebut.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) lingkungan diartikan sebgai bulatn yang melingkungi (melingkari). Pengertian lainnya yaitu sekalian yang terlingkung di suatu daerah. Dalam kamus Bahasa Inggris peristilahan lingkungan ini cukup beragam diantaranya ada istilah circle, area, surroundings, sphere, domain, range, dan environment, yang artinya kurang lebih berkaitan dengan keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitar atau sekeliling.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa lingkungan itu merupakan kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur biotik (makhluk hidup), abiotik (benda mati) dan budaya manusia.
2.      Nilai-Nilai Lingkungan sebagai Sumber Belajar
Lingkungan yang ada di sekitar anak merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini.
  1. Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari anak
Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan anak karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab anak dapat mengalami secara langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi dengan lingkungan tersebut.
Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak usia dini.
    1. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
    2. Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak
Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.
4.      Pemanfaatan lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar anak (learning activities) yang lebih meningkat.
Penggunaan cara atau metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan untuk anak usia dini.

1.      Jenis-Jenis Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
Pada dasarnya semua jenis lingkungan yang ada di sekitar anak dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sepanjang relevan dengan komptensi dasar dan hasil belajar yang bisa berupa lingkungan alam atau lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan budaya atau buatan.

  1. Lingkungan alam
Lingkungan alam atau lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah, seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan), tumbuh-tumbuhan dan hewan (flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan sebagainya.
Lingkungan alam sifatnya relatif menetap, oleh karena itu jenis lingkungan ini akan lebih mudah dikenal dan dipelajari oleh anak. Sesuai dengan kemampuannya, anak dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dan dialami dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga proses terjadinya.
Dengan mempelajari lingkungan alam ini diharapkan anak akan lebih memahami gejala-gejala alam yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, lebih dari itu diharapkan juga dapat menumbuhkan kesadaran sejak awal untuk mencintai alam, dan mungkin juga anak bisa turut berpartisipasi untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam.

  1. Lingkungan sosial
Selain lingkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas jenis lingkungan lain yang kaya akan informasi bagi anak usia dini yaitu lingkungan sosial.
Hal-hal yang bisa dipelajari oleh anak usia dini dalam kaitannya dengan pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar ini misalnya:
1.      mengenal adat istiadat dan kebiasaan penduduk setempat di mana anak tinggal.
2.      mengenal jenis-jenis mata pencaharian penduduk di sektiar tempat tinggal dan sekolah.
3.      Mengenal organisasi-organisasi sosial yang ada di masyarakat sekitar tempat tinggal dan sekolah.
4.      Mengenal kehidupan beragama yang dianut oleh penduduk sekitar tempat tinggal dan sekolah.
5.      Mengenal kebudayaan termasuk kesenian yang ada di sekitar tempat tinggal dan sekolah.
6.      Mengenal struktur pemerntahan setempat seperti RT, RW, desa atau kelurahan dan kecamatan.
Pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar dalam kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sebaiknya dimulai dari lingkungan yang terkecil atau paling dekat dengan anak.

  1. Lingkungan budaya
Di samping lingkungan budaya dan lingkungan alam yang sifatnya alami, ada juga yang disebut lingkungan budaya atau buatan yakni lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Anak dapat mempelajari lingkungan buatan dari berbagai aspek seperti prosesnya, pemanfaatannya, fungsinya, pemeliharaannya, daya dukungnya, serta aspek lain yang berkenan dengan pembangunan dan kepentingan manusia dan masyarakat pada umumnya.
Agar penggunaan lingkungan ini efektif perlu disesuaikan dengan rencana kegiatan atau program yang ada. Dengan begitu, maka lingkungan ini dapat memperkaya dan memperjelas bahan ajar yang dipelajari dan bisa dijadikan sebagai laboratorium belajar anak.



PROSES PEMBENTUKAN KETERAMPILAN SOSIAL AUD

Proses sosialisasi sendiri dikenal melalui tiga tahap , yaitu :
A.    Proses Internalisasi
Proses ini merupakan suatu proses panjang dan berlangsung seumur hidup, sejak manusia lahir sampai ia meninggal dunia. Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung di dalam dirinya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat,nafsu, serta emosi dalam kepribadian individunya. Akan tetapi, wujud pengaktifan berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulus yang berada dalam alam sekitarnya dan dalam lingkungan sosial maupun budayanya. Setiap hari dalam kehidupan individu akan bertambah pengalamannya tentang bermacam-macam perasaan baru, maka belajarlah ia merasakan kebahagiaan, kegembiraan, simpati, cinta, benci,keamanan,harga diri,kebenaran, rasa bersalah, dosa, malu, dsb. Selain perasaan tersebut berkembang pula berbagai macam hasrat seperti hasrat mempertahankan hidup. Untuk menikmati keindahan semua itu dapat dipelajari melalui prosesninternalisasi yang menjadi ,ilik kepribadian individu.
B.     Proses Sosialisasi
Proses ini artinya suatu proses dimana seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan kelompoknya. Maka kepribadian adalah keseluruhan faktor biologis, psikologis dan sosilogis yang mendasari perilaku individu.

Proses sosialisasi terjadi melalui dua cara yaitu:
a. Conditioning.
b. Komunikasi atau interaksi.
Conditioning, adalah keadaan yang menyebabkan individu mempelajari pola kebudayaan yang fundamental seperti cara makan, bahasa, berjalan, cara duduk, pengembangan tingkah laku dan sebagainya.
C.    Proses Inkulturasi
Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pembudayaan yaitu seorang individu yang mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem nora dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaanya. Individu sejak kecil sudah mengawali proses inkulturasi dalam alam pikiran mereka sebagai warga suatu masyarakat. Mula-mula dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dari teman-teman mainnya. Selain itu ia sering belajar dengan meniru berbagai macam tindakan. Namun, sebelumnya perasaan dan nilai budaya yang meberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasikan dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru, maka tindakannya akan menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya itu untuk dibudidayakan. Berbagai macam norma kadang juga dipelajari seorang individu secara sebagian demiu sebagian dengan mendengarkan orang-orang di dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda. Sudah tentu ada juga norma-norma yang diajarkan kepadanya dengan sengaja, tidak hanya di lingkungan keluarga dan di luar keluarga saja, tetapi juga secara formal.




PENGUKURAN PRILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

Pengertian Perilaku Sosial
Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam hubungan dengan orang lain, baik  dengan  teman  sebaya,  guru,  orang  tua  maupun  saudara-saudaranya.  Di  dalam hubungan   dengan  orang  lain,  terjadi  peristiwa-peristiwa  yang  sangat  bermakna dalam  kehidupannya  yang  membentuk  kepribadiannya,  yang  membantu perkembangannya menjadi manusia sebagaimana adanya. Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang-orang  yang  paling  dekat  dengan  dia,  yaitu  :  ibunya,  ayahnya,  saudarasaudaranya,  dan  anggota  keluarga  yang  lain.  Apa  yang  telah  dipelajari  anak  dari lingkungan keluarganya sangat mempengaruhi perilakusosialnya. Perasaan  terhadap  orang  lain,  juga  merupakan  hasil dari  pengalaman  yang lampau  dan  mempengaruhi  hubungan  sosial,  seperti  yang  dapat  diobservasi  dalam situasi  kehidupan  sehari-hari.  Hasil  observasi  di  kelas  sebagaimana  yang diungkapkan oleh Johnson (1975 : 82) menunjukan bahwa anak berperilaku dalam suatu  kelompok  berbeda  dengan  perilakunya  dalam  kelompok  lain.  Perilaku  anak dalam kelompok juga berbeda dengan pada waktu dia sendirian.
Kehadiran orang lain dapat menimbulkan reaksi yangberbeda pada tiap-tiap anak. Menurut Johnson, perbedaan ini dapat terjadikarena beberapa faktor, yaitu : persepsi  individu  yang  menjadi  anggota  kelompok,  lingkungan  tempat  terjadinya interaksi dan pola kepemimpinan yang dipakai guru di kelas. Keterampilan sosial yang perlu dimiliki anak TK

a).  Kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain
Pada  awal  masa  bayi  (  kira-kira  usia  tiga  bulan),  anak  sudah  mulai menunjukkan keinginannya untuk berhubungan dengan orang lain, dengan “senyum sosial” yang ditunjukkannya bila ada orang yang mendekatinya. Pada saat itu sifat hubungannya  dengan  orang  lain  masih  sangat  terbatas,  karena  kemampuan  reaksi dan komunikasinya yang juga masih amat terbatas. Kemudian pada akhir masa bayi (kira-kira usia dua tahun) anak sudah mulai dapat berbicara dan memiliki beberapa puluh  kosa  kata,  keinginan  untuk  menjalin  hubungan  antar  manusia  sudah  lebih nyata, hal ini ditampakkan melalui sikap dan perilakunya terhadap orang-orang yang ditemuinya, terutama dengan anak-anak sebaya.
Masuknya  anak  ke  TK  memberikan  kesempatan  bergaul  dengan  anak  lain yang  sebaya  semakin  besar.  Hal  ini  memberikan  peluang  pada  anak  untuk  lebih melancarkan  dan  meningkaan  kemampuan  berkomunikasinya.  Pada  usia  TK  anak diharapkan  telah  dapat  menyatakan  perasaan-perasaannya  melalui  kata-kata,  bila marah  pada  temannya  ia  akan  mengatakan  “kamu  nakal  atau  kamu  jahat”,  kalau takut sesuatu ia akan mengatakan “saya takut itu” atau kalau ia senang ia juga akan mengatakan “saya senang”. Selain  dari  itu,  anak  juga  sudah  mulai  mampu  membaca  situasi  yang dihadapi.  Bila  merebut  mainan  temannya,  kemudian  temannya  cemberut  dan  guru memelototinya, ia tahu bahwa perilakunya itu tidak disukai oleh teman dan gurunya.
            Anak juga mulai dapat memilih teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai  mempunyai  teman  yang  dianggap  sesuai  dengan  keinginannya,  mulai mempunyai  teman  dekat,  dan  menghindari  teman-teman  yang  tidak  disukainya.
            Pada  usia  ini  anak  juga  sudah  mulai   dapat  bermain  dalam  kelompok  kecil  yang menuntut kebersamaan dan kerjasama, mulai belajar berbagai hal dengan orang lain, belajar menunggu giliran dan lain-lain. Pengalaman berhubungan (bersosialisasi) dengan orang lain ini memberikan pelajaran  pada  anak   bahwa  ada  perilaku-perilaku  yang  disukai  oleh  teman-teman atau gurunya yang menyebabkan ia diterima di lingkungan mereka, dan ia tahu pula bahwa ada perilaku-perilaku yang tidak disukai temannya. Dengan pengetahuannya itu  anak  mulai  mengubah  perilaku  yang  negatif  dan  mengembangkan  perilakuperilaku  yang  positif  agar  hubungan  dengan  orang  lain  dapat  tetap  berlangsung dengan  baik.  Anak  semakin  mampu  mengendalikan  perasaan-perasaannya  dan mengikuti  aturan-aturan  yang  ditentukan  oleh  lingkungannya,  untuk  dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Bila  pengalaman  awal  seorang  anak  dalam  bersosialisasi  lebih  banyak memberi kesenangan dan kepuasan, maka dapat diperkirakan proses sosialisasinya berkembang  ke  arah  yang  positif,  tetapi  sebaliknya  bila  tidak,  hambatan  dan kesulitan dalam bersosialisasi akan banyak ditemui anak.
            Menurut Dini P. Daeng S (1996: 114) ada empat faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosialisasi, yaitu :
1.      Adanya  kesempatan  untuk  bergaul  dengan  orang-orang  di  sekitarnya  dari berbagai usia dan latar belakang. Semakin banyak dan bervariasi pengalaman dalam bergaul dengan orang-orang di  lingkungannya,  maka  akan  semakin  banyak  pula  hal-hal  yang  dapat dipelajarinya, untuk menjadi bekal dalam meningkaanketerampilan sosialisasi tersebut.
2.      Adanya minat dan motivasi untuk bergaul
Semakin  banyak  pengalaman  yang  menyenangkan  yang  diperoleh  melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat dan motivasi untuk bergaul juga akan semakin  berkembang.  Keadaan  ini  memberi  peluang  yang  lebih  besar  untuk meningkaan  ketrampilan  sosialisasinya.  Dengan  minat dan  motivasi  bergaul yang besar anak akan terpacu untuk selalu memperluas wawasan pergaulan dan pengalaman  dalam  bersosialisasi,  sehingga  makin  banyak  pula  hal-hal  yang dipelajarinya  yang  pada  akhirnya  akan  meningkaan  kemampuan bersosialisasinya.  Sebaliknya  bila  seorang  anak  tidak  memiliki  minat  dan motivasi untuk bergaul, akan cenderung menyendiri dan lebih suka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak banyak melibaan dan menuntut hubungan dengan orang lain. Dengan demikian makin sedikit pengalaman bergaulnya dan makin sedikit  pula  yang  dapat  dipelajarinya  tentang  pergaulan  yang  dapat  menjadi bekal untuk meningkaan kemampuan sosialisasinya.
3.      Adanya  bimbingan  dan  pengajaran  dari  orang  lain,  yang  biasanya  menjadi “model” bagi anak. Walaupun kemampuan sosialisasi ini dapat pulaberkembang melalui cara “cobasalah”  yang  dialami  oleh  anak,  melalui  pengalaman  bergaul  atau  dengan “meniru”  perilaku  orang  lain  dalam  bergaul,  tetapi  akan  lebih  efektif  bila  ada bimbingan dan pengajaran yang secara sengaja diberikan oleh orang yang dapat dijadikan “model” bergaul yang baik bagi anak.
4.      Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak.
Dalam  berkomunikasi  dengan  orang  lain,  anak  tidak  hanya  dituntut   untuk berkomunikasi  dengan  kata-kata  yang  dapat  difahami, tetapi  juga  dapat membicarakan topik  yang dapat dimengerti dan  menarik bagi orang lain  yang menjadi  lawan  bicaranya.  Kemampuan  berkomunikasi  ini  menjadi  inti  dari sosialisasi.

Menurut  Elizabeth  B.  Hurlock,  (1978  :  228)  untuk   menjadi  orang  yang mampu bersosialisasi memerlukan tiga proses.  Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan. Kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasinya. Ketiga prosessosialisasi tersebut adalah :
1.      Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial.
Setiap  kelompok  sosial  mempunyai  standar  bagi  para  anggotanya  tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat besosialisasi anak tidak hanya harus mengetahui  perilaku  yang  dapat  diterima,  tetapi  mereka  juga  harus menyesuaikan perilakunya dengan patokan yang dapatditerima.
2.      Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial mempuyai pola  kebiasaan  yang  telah  ditentukan  dengan  seksama oleh  para  anggotannya dan  dituntut  untuk  dipatuhi.  Sebagai  contoh,  ada  peran  yang  telah  disetujui bersama  bagi  orang  tua  dan  anak  serta  ada  pula  peran  yang  telah  disetujui bersama bagi guru dan murid. Anak dituntut untuk mampu memainkan peranperan sosial yang diterimanya.
3.      Perkembangan  sikap  sosial.  Untuk  bersosialisasi  dengan  baik  anak-anak  harus menyenangi   orang  dan  kegiatan   sosial.  Jika  mereka dapat  melakukannya, mereka  akan  berhasil  dalam  penyesuaian  sosial  dan  diterima  sebagai  anggota kelompok sosial tempat mereka bergaul.

b)  Kemampuan melakukan kegiatan bermain dan menggunakan waktu luang
Dunia anak adalah dunia bermain, khususnya pada anak prasekolah bermain merupakan kebutuhan dasar mereka. Dengan demikian wajarlah bila sebagian besar waktu anak diisi dengan kegiatan bermain.
Elizabeth  B.  Hurlock  (1978:  234)  memberikan  batasan tentang  bermain sebagai  “kegiatan  bermain  adalah  kegiatan  yang  dilakukan  tanpa mempertimbangkan  hasil  akhir,  semata-mata  untuk  menimbulkan  kesenangan  dan kegembiraan saja. Biasanya anak melakukakannya secara suka rela, tanpa paksaan dan  tanpa  ada  aturan  main  tertentu,  kecuali  bila  ditentukan  oleh  pihak-pihak  yang terlibat dalam permainan tersebut”. Anak  usia  prasekolah  pada  umumnya  senang  melakukan  permainan  yang mengandung  aktivitas  gerak,  seperrti  berlari,  meloncat,  memanjat  dan  bersepeda, tetapi  ada  pula  anak  yang  tidak  begitu  menyukai  kegiatan  bermain  aktif,  anak demikian  lebih  memilih  bentuk  kegiatan  bermain  pasif  yang  kurang  banyak merangsang  aspek  fisik  motoriknya  tetapi  lebih  merangsang  aspek  perkembangan lainnya, terutama perkembangan kognitifnya.
Kedua jenis kegiatan bermain ini baik bermain aktifmaupun bermain pasif sama-sama  bermanfaat  bagi  perkembangan  anak,  namun  untuk  memberi  manfaat yang  optimal  dan  bersifat  menyeluruh  bagi  perkembangan  anak,  kedua  jenis kegiatan bermain ini perlu dilakukan oleh anak secara seimbang.
c)  Kemampuananakmengatasisituasisosialyangdihadapi
Kemampuan  anak  dalam  mengatasi  situasi  sosial  yang  dihadapi  erat kaitannya dengan kemampuan anak dalam menjalin hubugan antar manusia. Hal ini disebabkan karena situasi sosial yang dihadapi anak, mau tidak mau melibaan orang lain sehingga pada dasarnya tidak dapat lepas dari  hubungannya dengan orang lain. Salah  satu  yang  berkaitan  dengan  kemampuan  mengatasi  situasi  sosial  ini,  anak tidak  selalu  harus  berhubungan  secara  langsung  dengan  orang  lain.  Masalah  yang dihadapinya  tidak  berhubungan  langsung  dengan  orang lain,  tetapi  berhubungan dengan  situasi  sosial,  yaitu  situasi  yang  diciptakan  oleh  orang  lain.  Misalnya, seorang anak TKsedang mengikuti kegiatan menggambardi kelas, yang sebenarnya tidak  disukainya.  Keadaan  ini  menimbulkan  perasaan  dan  pengalaman  yang  tidak enak  pada  dirinya.  Bila  ia  tidak  mau  melakukan  kegiatan  itu  ia  takut  dihukum gurunya,  tetapi  bila  ia  mengikuti  terus  ia  merasa  sangat  bosan.  Mengatasi  situasi semacam ini diperlukan kemampuan anak untuk mencaripemecahan masalah yang sebaik-baiknya  sesuai  dengan  perkembangan  yang  telah  dicapainya.  Pada  usia  ini diharapkan  anak  telah  menyadari  tuntutan  yang  diharapkan  oleh  lingkungan.  Ia sudah harus dapat mengikuti aturan main yang ada, mengikuti tokoh otoritas yang dihadapi dan mencoba untuk mengendalikan perasaan-perasaanya dengan cara yang lebih positif.


No comments:

Post a Comment